Mohon tunggu...
Aqida Izza
Aqida Izza Mohon Tunggu... Buruh - resolusi 2020 menulis minimal 200 kata sehari

Wirausaha yang hobby membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebahagiaan Semu vs Kebahagiaan Hakiki

18 Januari 2020   20:56 Diperbarui: 18 Januari 2020   20:55 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya topik ini merupakan kegalauan saya dari dulu sejak jaman SMA. Kenapa sebagian besar orang Amerika atau mungkin orang-orang dari belahan bumi lainnya mengidolakan kebebasan / freedom? 

Semakin bebas semakin bahagia. Inilah yang mungkin menginspirasi beberapa orang untuk keluar dari zona aman seperti bergonta-ganti pasangan, berpesta dan bersenang-senang sepuasnya tanpa ada yang mengontrol atau hidup dengan gaya hedonisme. 

Sewaktu SMA saya tahu mencari kebahagian dengan cara seperti ini adalah salah, seperti ada yang kurang, hanya saja saya tidak bisa menjelaskan apa yang kurang karena waktu itu pikiran saya belum bisa menguraikan hal itu.

Beberapa bulan setelah kematian dua orang terdekat saya yakni kakek dan ayah saya, saya mulai menata ulang mindset saya dari anak manja yang tidak tahu harus melakukan apa menjadi seseorang yang berusaha melakukan apapun yang ada di depannya untuk bisa bertahan hidup. 

Hal ini terjadi karena dulunya saya terlalu bergantung kepada ayah dan kakek saya sehingga saya merasa nyaman dan tidak terlalu memikirkan masa depan. 

Saya baru menyadari hal ini (terlalu bergantung pada ayah dan kakek saya) setelah well beberapa bulan setelah kejadian ini tentunya karena penyesalan selalu datang di akhir. Jarak antara kematian kakek dan ayah saya tidak begitu jauh hanya sekitar tiga bulan saja yang membuat saya terus berpikir kenapa ini harus terjadi pada diri saya dan keluarga saya.

Tentunya butuh waktu yang panjang untuk mengatur ulang mindset saya dari yang menyalahkan keadaan sampai pada berusaha untuk memperbaiki keadaan yang ada pada kendali kita, ketika saya benar-benar memutuskan untuk berwirausaha adakalanya saya merasa bahwa saya telah berusaha cukup keras tapi saya merasa masih kurang juga dan hal ini sangat-sangat menyebalkan. 

Saya menjadi pemarah, egois, dan mencari-cari sesuatu untuk disalahkan. Tentunya hal ini berpengaruh kepada orang-orang didekat saya yang merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi sikap saya yang seperti itu. 

Sampai akhirnya ada beberapa kejadian dalam hidup saya yang membuat saya berpikir ulang tentang apa sih yang seharusnya saya lakukan di dunia ini. 

Salah satu dari rentetan kejadian itu adalah saat saya menonton youtube Dewa Eka Prayoga yang waktu itu membahas tentang bagaimana dia membimbing salah satu tim marketing dari B erl kosmetik dengan cara-cara yang diluar prinsip-prinsip marketing seperti memperhatikan orang-orang di sekitar kita dan mendoakan mereka yang sedang dalam kesusahan. 

Hal ini sangat-sangat tidak pernah terpikirkan dalam otak saya karena bagaimana saya bisa mendoakan orang lain ketika saya sendiri masih membutuhkan bantuan dengan diri saya yang masih kacau ini.

Biasanya kebahagian sering dikaitkan dengan kesuksesan, saya pun berpikiran serupa di mana "Sukses = Bahagia" sehingga saya mencari-cari cara untuk menjadi sukses agar bisa bahagia. 

Dalam Islam kita sering mendengar konsep ikhtiar, doa, dan tawakkal yang pada intinya sebagai muslim kita dianjurkan untuk berusaha, berdoa, dan berpasrah diri pada Allah dan sesimpel itulah resep kesuksesan dalam Islam di mana kita berusaha, berdoa, dan apapun hasilnya nanti kita pasrahkan kepada Allah karena Allah lah yang paling tahu mana yang terbaik untuk kita. 

Jika konsep ini dipraktekkan dengan benar maka apapun hasilnya kita tidak akan menyesal atau sedih dan tidak akan menyalahkan siapapun termasuk diri kita sendiri jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan karena kita sudah berusaha melakukan semuanya. 

Namun adakalanya kita lebih fokus pada satu sisi dan meninggalkan sisi lainnya yang membuat kita semakin jauh dari sukses dan bahagia itu sendiri.

Singkat cerita, thanks to  buku-buku yang saya baca dan beberapa video youtube keren yang saya tonton beberapa waktu terakhir, saya berhasil mengubah mindset saya bahwa saya tidak perlu sempurna dulu untuk mau mendoakan orang lain, saya tidak harus kaya dulu untuk mau membantu orang lain, dan anehnya saya mulai sedikit demi sedikit tidak banyak menuntut, tidak banyak menyalahkan orang lain, tidak mudah marah/kesal. 

Dan yang paling penting adalah saya merasa lebih bahagia ketika saya bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini, ketika saya berhasil membantu orang lain, ketika saya memberanikan diri untuk menyambung tali silaturrahmi dengan teman-teman saya yang dulu saya campakan, ketika saya bersikap tulus tanpa mengharapkan balasan apapun dari manusia, atau ketika saya mencoba berbicara secara halus dengan adik saya dari pada bertengkar terus-menerus.

Kalau kalian penasaran kenapa kebahagiaan yang saya sebutkan selalu berkaitan dengan orang lain awalnya saya juga begitu. Sampai pada suatu hari saya menonton video Ted talk yang dibawakan oleh seorang professor asal Korea Selatan yang tinggal di Amerika, kalau tidak salah bidang beliau berhubungan dengan psikologi, intinya professor ini menyampaikan penelitiannya bahwa kebahagian terbesar manusia pasti akan selalu berhubungan dengan manusia lain. 

Seseorang akan merasa paling bahagia ketika mendapat pengakuan, cinta, kasih sayang atau sekedar ucapan terima kasih dari orang lain. Intinya ketika kita merasa bahagia pasti hal itu berhubungan dengan orang lain, tidak mungkin kita bahagia ketika sendirian atau tanpa melibatkan orang lain. 

Hubungan manusia dengan manusia ini sama halnya dengan reward makanan yang diterima oleh hewan. Hewan akan merasa bahagia ketika berhasil melakukan sesuatu dan mendapatkan reward berupa makanan sedangkan manusia akan mendapatkan kebahagian ketika berhubungan dengan manusia lainnya. Hal ini juga menjelaskan mengapa manusia (saya khususnya) merasa hampa ketika tidak menjadi bagian dari suatu komunitas.

Di lain kesempatan, saya juga pernah melihat video Ted talk yang intinya pembicara menyampaikan bahwa uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan namun jika kamu bisa membelanjakan uang tersebut secara bijak misal membelikan sesuatu untuk orang lain maka hal itu akan membawa kebahagiaan yang efeknya jauh lebih dahsyat ketimbang ketika kamu menggunakan uang tersebut hanya untuk keperluanmu sendiri.

Terakhir, Mark manson di akhir bukunya "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" mengatakan "Orang-orang besar percaya bahwa kebahagiaan adalah peduli pada sesuatu yang lebih besar dari pada diri anda sendiri." So, bro/sis... semoga kita semua menemukan cara terbaik untuk bahagia yang pada dasarnya ada di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun