Krisis ekonomi selalu memunculkan krisis sosial di mana kelompok ekonomi terlemah yang notabene adalah mayoritas penduduk bumi melahirkan anak-anak jalanan dalam jumlah raksasa. Hal ini terutama terjadi di negara-negara miskin dan berkembang seperti di negara Indonesia tercinta ini.
KRISIS KEUANGAN DUNIA
Bukan sebuah musibah yang tiba-tiba bahwa krisis global akut dimulai sejak kwartal terakhir 2008 dengan dipicu oleh Krisis Keuangan Sub-Prime Mortgage, perusahaan finansial raksasa seperti Bear Sterns, JP Morgan, Goldman Sach, Lehman Brothers, dkk akibat keserakahan Hedge Fund yang membuat surat berharga atas piutang KPR di AS, sementara para nasabah KPR tersebut kehilangan daya bayar akibat kehilangan tunjangan sosial karena defisit yang disebabkan agresi perang AS ke Afganistan dan Irak.
Dan krisis saat ini sesungguhnya hanyalah berupa titian krisis demi krisis sistem kapitalisme. Dan krisis ekonomi dunia saat ini merupakan krisis pada tahap tertinggi dalam sistem ini yaitu tahap neoliberalisme atau tahap penjajahan modal. Dimana sistem meliberalisasi sistem keuangan dengan menghalalkan spekulasi baik di bursa saham maupun di pasar mata uang. Beberapa orang menyebutnya meletusnya Greenspan bubble effect, yaitu efek meletusnya gelembung perdagangan finansial sejak era menteri Keuangan Amerika Serikat sejak jaman Ronald Reagan.
FENOMENA ANAK JALANAN
‘Revolusi industri’ memproduksi pabrik-pabrik manufaktur dan jasa di kawasan-kawasan indutri raksasa sebagai satelit bagi kota-kota besar di dunia termasuk di Indonersia seperti kota Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan , Bandung, Makassar, dll. Hal ini menyebabkan kemakmuran hanya bersirkulasi di kota-kota besar, sehingga menimbulkan ketimpangan kemakmuran jika dibandingkan dengan kehidupan di desa-desa. Maka terjadilah gelombang eksodus lautan tenaga kerja dari desa ke kota yang sebagian besar kurang terdidik (unskillfull labor) tentunya dengan pendapatan yang rendah.
Keluarga-keluarga pekerja dengan pendapatan dan pendidikan rendah di negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia tersebut kemudian memunculkan kemiskinan massif di kota-kota besar. Hal ini diperparah dengan budaya konsumeristik dan kompetisi habis-habisan sebagaimana tertayang di layar kaca dan bidang-bidang billboard di setiap sudut kota. Kemiskinan kemudian mengakibatkan menjauhnya daya beli masyarakat tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Maka sebagian anak lebih memilih untuk hidup di jalanan untuk membantu meringankan beban orang tua dan memenuhi gaya hidup mereka dengan beraneka profesi baik yang ‘legal’, semi legal, hingga kriminal. Di lima wilayah DKI Jakarta saja setidaknya terdapat lebih dari 30.000 anak jalanan (Komisi Nasional Anak Indonesia-KNAI). Jumlah ini sangat jauh lebih besar dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Bimbingan Mental dan Kesejahteraan Sosial (Bintal Kesos) Provinsi DKI Jakarta. Bisa dibayangkan seberapa besar jumlah anak terlantar yang ada di 33 provinsi apabila Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, menyatakan bahwa terdapat2,15 juta anak Indonesia telantar pada tahun 2006. Dan yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa sebanyak 114.889 orang menjadi anak jalanan (anjal) yang tersebar di 30 provinsi pada tahun 2006 telah berbiak menjadi angka 157.540 anak pada bulan Juni 2008, ini berarti terjadi peningkatan kuantitatif sebesar 17,1 persen. Kita masih memiliki peer untuk mencari angka ledakan jumlah mereka setelah dunia dilanda krisis terbesar setelah Great Depression 1930an saat ini.
SOLUSI
Desakan Kepada Pemerintah.
Solusi pertama adalah dengan mendesak kepada pemerintah sebagai eksekutif kehidupan bernegara yang ditunjuk oleh rakyat (idealnya) untuk memberantas kemiskinan (bukan memberantas orang Miskin) baik melalui class action maupun mekanisme-mekanisme kontrak politik yang tersedia. Rakyat harus dapat memastikan bahwa suaranya terdengar oleh yang diperintah (bukan pemerintah) untuk melindungi ekonomi bersama melalui proteksi perekonomian dan industrialisasi nasional dan subsidi bagi kegiatan usaha ekonomi mereka. Hal ini dapat dicapai apabila pemerintah dapat mandiri terbebas dari intervensi kekuatan ekonomi asing untuk membiarkan Indonesia menjadi negara terliberal didunia untuk diobok-obok. Selanjutnya anak jalanan akan semakin berkurang karena bersamarakyat indonesia lainnya tersibukkan oleh kegiatan mengatur dan memenuhi kebutuhannya sendiri untuk melangsungkan kehidupan yang makmur dan terhormat di negara yang memiliki kekayaan alam nomor lima terkaya di dunia ini.
Membudayakan solidaritas sosial antar kelas ekonomi.
Solusi kedua adalah dengan jalan mebangun dan menyebarluaskan nilai-nilai yang bertujuan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Kita harus kembali menggali budaya-budaya yang bersifat solidaritas sosial seperti budaya gotong-royong dan budaya bekerjasama dalam meraih sebuah cita-cita bersama. Kita juga harus berusaha untuk menghilangkan sifat berkompetisi dalam kadar yang berlebihan sehingga saling mengalahkan serta semagat saling menguasai tidak lagi dapat menjadi justifikasi bagi segelintir pemenang untuk menikmati privilege untuk berkuasa dan menindas.
Hal ini dapat tercapai melalui jalan memberikan pendidikan yang berkualitas dan massif termasuk bagi anak-anak jalanan. Hal ini hanya mungkin tercapai apabila dilakukan bersama di segala lini dan laopisan masyarakat. Pendidikan formal dan membangun pendidikan informal untuk membangun sistem pendidikan yang meninggikan soilidaritas, rasionalitas, dan egalitas. Sehingga dengan demikan maka kita akan dengan tegak dan tersenyum ketika seseorang menanyakan kepada kita asal-usul dan kewarganegaraan kita, dengan menjawab: “Warga dunia dari Indonesia!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H