Jokowi yang genap 10 tahun di bulan Oktober 2024. 2014 lalu Jokowi dan Jusuf Kalla di tetapkan sebagai pemenang pilpres. Kehadirannya dianggap sebagai sosok yang jauh dari elite atau lingkar kekuasaan. Jokowi di suarakan sebagai harapan baru karena selalu hadir di tengah masyarakat, ia dicap sebagai yang mampu mengakomodir kepentingan banyak masyarakat sipil.Â
Selesai sudah harapan. 2 (dua) periode kepemimpinanAda beberapa agenda prioritas yang dibawa pemerintahan Jokowi di sebut nawacita dengan 9 (sembilan) point yang di uraikan dalam nawacita tersebut, seperti melindungi dan memberi rasa aman, pemerintah bersih dan demokratis. Selain itu,ada juga peningkatan pendidikan dan pelatihan serta kemandirian ekonomi berupa kedaulatan dan mengikis utang negara. Namun,nawacita itu seperti angin berlalu yang tak tau arahnya kemana.
 Kita lihat dari segi demokrasi dapat dilihat berjalan mundur dan semakin mati. Pembungkaman yang terus terjadi. Keamanan perlindungan terhadap masyarakat menjadi sangat semu dengan aparat penegak hukum yang masih bersikap represif dalam beraksi. Seperti halnya aksi di tgl 22 Agustus 2024 kemarin yang banyak kawan kawan mahasiswa di pukulin,seret bahkan di tangkapi.Â
Di periode ke dua Presiden Jokowi juga dapat kita katakan semakin memburuk, karena mengumpulkan lawan lawan politik nya untuk masuk ke dalam pemerintahan. Hal ini lah yang membuat terciptanya politik akomodatif dan oposisi semakin susut di lembaga legislatif. Sehingga terjadinya produk produk legislasi lahir tanpa partisipasi bermakna yang menimbulkan protes protes besar di kalangan masyarakat.Â
Seperti UU Ciptaker,UU KPK hingga UU Pilkada yang di bahas secara ugal ugal an di Baleg DPR RI yang membawa mudarat. Di penghujung masa jabatannya,Jokowi diduga menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk merangkai dinasti politik. Seperti menerobos konstitusi dan hukum dibuat sebagai alat menjatuhkan lawan politik. Disitulah legalisme otokratis kian kental dan Check and Balance di DPR tidak ada lagi. Sehingga DPR hanya jadi lembaga tukang stempel pemerintah.Â
Lalu,apa yang hendak di harapkan ?, penilaian dari akademisi,peneliti hingga mahasiswa presiden gagal memberikan rasa aman terhadap warga negaranya yang di agendakan di nawacita. Seperti tak ada jaminan yang pasti untuk melakukan kritik dan berekspresi sesuai dengan hati nurani dan pikiran. Hal ini,disebabkan atas respon Negara yang eksesif terhadap kritik Dan kebebasan berekspresi warga. Aparat keamanan seperti TNI dan Polri, masih jadi perangkat andalan Negara untuk membungkam kritik dengan cara-cara yang represif.Â
Dapat dilihat dari sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kritik dan ekspresi Warga Negara yang sejatinya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Maka dari itu sikap represif negara seperti inilah yang berujung panjang bagi psikologis masyarakat. Kini rakyat cenderung melakukan self cencorship, atau mengurungkan niat melakukan kritik dan protes terbuka. Karena mereka khawatir dikriminalisasi atau mendapat perlakuan eksesif dari aparat keamanan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H