Saat musim panas, tutuplah tirai-tirai rumahmu. Ayo kita pandangi air bening mengalir menjadi sumber kehidupan. Semua orang berlarian untuk menangkup sebagian air itu entah untuk apa, beberapa langsung minum kehausan. Meski begitu, dahaga ku tak merasa demikian saat bersama mu. Tak kenal sumber kehidupan, karna ku tahu kau ada. Matamu mengalahkan danau---3 angsa, 12 ikan, Teratai-teratai, Lily paris, Aglaonema Pink, Coleus ungu---dan rerumputan hijau yang mengelilingi. Selerangmu membuat matahari menangis minder. Senyummu melalap ukiran-ukiran patung---memangnya kau tak kasihan dengan artisan-artisan tersebut?
 Kalangan pepohonan yang hampir mati layu kurang kehidupan dari si air, sesuatu yang tak akan pernah aku inginkan terjadi kepada kita. Tanah mulai meretak, menunggu hujan yang tak pernah berjanji kapan akan datang. Tapi begitupun aku yang bertahan di tengah kerontang, meski tahu segalanya akan luruh pada saatnya.
 Para petani beria-ria bersiap untuk mencangkul hasil panen dari masing-masing ladang sawahnya. Keringat bercucuran dari dahi, punggung, alis, dan ketiak mereka. Namun, aku lebih memprihatinkan mata mu yang memerah, kantungnya kian menghitam. Mungkin ia akan memelukmu erat, membisikkan kata-kata yang ia pikir bisa mencairkan bongkahan es batu. Sedang aku hanya membatu, tanganku beranjak menangkap air yang mengalir di antara batang hidung mu, melintasi dua landang yang tidur di situ. Tidak apa, ko. Semuanya pasti lelah, tapi kau punya aku dan Tuhan untuk bersandar, 'kan?
 Kala musim hujan menyapa, langit akan menumpahkan rahasia yang terlalu lama dipendam. Inilah yang aku nanti-nantikan---tetap aku paling menantikan kepergiannya dari kehidupan kita. Tanah yang retak mengernyih, menyambut setiap tetes dengan rasa syukur yang diam. Aroma petrichor menguar, melingkupi udara dengan wangi yang membawa ingatan pulang. Tak perlu berkata-kata; hujan sudah berbicara untuk kita, menyelubungi dunia dalam keheningan.
 Kau tahu mengapa langit menangis? Tidak. Bukan mitos yang bibit bobotmu percayai. Ia iri karena bukan tetesan air matanya yang ku abadikan. Melainkan wajahmu dan segala detilnya, caramu memandang keluar---bagaimana matamu menangkap gerak halus tetesan yang berjatuhan. Orang-orang, bunga-bunga, tanah yang lanjut hidup, semuanya buram---seperti uap di kamar mandi. Ambil lah seteguk air dari langit, agar aku bisa melihat bunga merekah di lidah dan sela-sela gigimu---putih seputih mutiara. Lembutnya angin yang berderai dan menyisir jalat masih takkan mampu mengungguli lembut tutur kata dan perlakuanmu.
 Ibu-ibu berlari keluar dari rumahnya untuk mengambil semua jemuran, sungkan bila mereka perlu mencuci lagi. Namun, jemuran yang kau gantung tidak kau ambil. Jemuran yang ku maksud juga punya hati. Tapi kurasa kau takkan bisa mengerti.
 Saat petir menyambar, aku lompat tersingahak dan meramas tanganmu yang jauh lebih besar dari wajahku. Lalu, kau tertawa dan meledek, padahal kau juga tadi tersentak. Kau meledek bahwa sekarang kau tahu aku takut akan bising.
Yang ku tahu, kau pasti masih takkan pernah bisa memahami bahwa yang paling takutkan adalah kehilanganmu jika hanya karenanya.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H