Mohon tunggu...
Lisno Setiawan
Lisno Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Santai, Setia, Solusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menggerakkan Lokomotif Revolusi Mental

20 April 2015   10:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Revolusi mental menjadi jargon yang menarik pada kampanye tahun Jokowi tahun sebelumnya. Romantisme sejarah kata revolusi menghipnotis banyak rakyat Indonesia. Jargon itu juga menjadi jualan yang cukup laku. Kata reformasi memang sudah terlalu lama dipakai dalam masa pemerintahan era reformasi yakni 17 tahun. Selayaknya anak dalam usia yang sama, memerlukan hal-hal yang lebih menantang untuk pendewasaan diri. Selalu ingin menunjukkan sikap mandiri dan mencari cari jati diri.

Reformasi merupakan suatu hal yang kurang mendapat hati bagi Soekarno. Menurut Bung Karno, reform artinya perubahan kecil-kecil. Reformasi lebih diwujudkan adanya kenaikan gaji, pengurangan jam kerja, perbaikan dalam urusan perumahan, dan perbaikan dalam urusan pendidikan. Dengan perubahan-perubahan kecil-kecilan tersebut serta “tawakal” pada mekanisme pasar maka diharapkan akan tercapai satu masyarakat yang adil dan makmur. Bung Karno lebih setuju negara merupakan satu machstorganisatie, satu alat yang dapat digunakan untuk pertahanan baik dalam dan luar negeri serta untuk merealisasikan cita-cita kita akan masyarakat adil dan makmur. Yang selanjutnya disebut dengan Revolusi.

Konsep revolusi pada periode Jokowi JK sudah terjabar dalam trisakti dan nawacita. Dokumen itu pun sudah diewajantahkan ke dalam RPJMN 2015-2019. Penetapan perubahan APBN 2015 yang cukup lancar pada tahun 2015 merupakan modal awal yang cukup baik. Secara prinsip APBNP 2015 memfokuskan belanja untuk program prioritas yang produktif dan peningkatan peran BUMN sebagai agen pembangunan dalam agenda prioritas nasional.

Selain konsep yang ideal, tentu implementasi memerlukan eksekutor yang handal.  Dalam konsepnya, Pemerintah harus menjadi dirijen yang mengharmonisasikan segala potensi yang ada. Tentu saja Pemerintah bukan hanya Presiden semata. Delegasi kinerja dari struktur ke struktur. Salah satu elemen tersebut adalah aparatur sipil negara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai warisan yang baik atas pengaturan aparatur sipil negara (ASN). Telah diterbitkan Undang-undang Aparatur Sipil Negara sesuai dinamika dan perkembangan aparatur yang lebih melayani dan fleksibel. Namun petunjuk pelaksana atas undang-undang tersebut serta resistensi kelembagaan membuat Undang-undang belum dapat dilaksanakan. Tidak heran kebuntuan birokrasi masih saja terjadi di sana sini yang berakibat gagalnya target kinerja pembangunan.

DKI Jakarta merupakan contoh kebuntuan birokrasi yang berakibat buruk bagi kinerja pemerintahan meskipun dikelola oleh orang yang visioner, Jokowi Ahok. Realisasi APBD DKI yang kurang dari 60 persen dan semakin bertambahnya kemiskinan pada tahun 2014 di wilayah tersebut tidak lepas dari minimnya kemampuan birokrasi melakukan eksekusi-eksekusi atas instruksi Gubernur.

Lain lagi dengan sektor pendidikan, program penataan dan pemerataan guru (PPG) yang ditantangani oleh SKB lima menteri (Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan, dan Menkeu)  tahun 2011 mengalami kegagalan. Riset ICW (2014) menyatakan faktor kegagalan salah satu program  sektor anggaran terbesar di Indonesia itu dikarenakan kurangnya kontrol pemimpin daerah atas implementasi serta keengganan guru-guru di daerah perkotaan mengajar di daerah terpencil.

Pada prinsipnya terdapat tiga hal utama yang membuat ASN akan menjadi agen pembangunan khususnya revolusi mental. Pertama, pola karier. Pola karier di ASN lebih banyak berkutat urut kacang, siapa senior dia dapat atau siapa sekolah tinggi, dia akan jadi . Hal ini sangat berbeda dengan swasta yang berorientasi hasil, seseorang diproyeksikan menjadi jabatan lebih atas apabila berprestasi dalam melaksanakan proyek yang berhasil menguntungkan divisi. Tentu saja orang yang berpendidikan tinggi mendapatkan tempat, tapi lebih banyak di divisi research.  Pada tataran anggaran berbasis kinerja yang sudah dimaklumatkan sejak 2010 mestinya dapat menjadi evaluasi bagi Komite ASN untuk menimbang-nimbang pejabat ASN yang produktif.

Kedua pola mutasi. Penulis pernah berbincang dengan ASN di Malaysia terkait mutasi. Sistem mutasi di Malaysia sudah berbasis online yang terintegrasi pada unit seperti Komite ASN.  Pada periode 5 tahun, setiap  ASN berhak untuk mengajukan secara online usulan mutasi sesuai dengan lowongan dan jabatan yang telah ada di web ASN. Nah tugas Komite ASN adalah melakukan evaluasi dan menempatkan seorang ASN setelah melihat rekam jejaknya. Tentu saja sistem ini lebih objektif dibandingkan proses lolos butuh yang masih diterapkan di Indonesia, bahkan UU ASN juga masih mengatur aturan lama ini. Untuk proses mutasi seorang pelaksana diperlukan rentetan birokrasi dan diakhiri tandatangan seorang eselon I yang membidani kepegawaian. Proses umumnya adalah hampir 1 tahun, terkecuali ada penugasan khusus tentunya.

Ketiga pola gaji dan tunjangan. Kenaikan tunjangan pegawai DKI Jakarta dan DJP menjadi sorotan luas bagi masyarakat. UU ASN memang tidak mengatur secara spesifik batas atas dan range gaji dan tunjangan antar jabatan ASN. Tetapi hal ini mestinya dapat diakomodir pada petunjuk pelaksana di bawahnya. Tunjangan kinerja harus memuat reward dan punishment baik dari skala nasional maupun organisasi. Skala nasional harus menghitung pertumbuhan ekonomi dan inflasi, apabila negatif maka tunjangan kinerja dapat turun, sedangkan apabila positif sebaliknya. Skala organisasi berdasarkan hitungan analisa output kinerja. Selain itu salah satu faktor yang perlu dimasukkan adalah tunjangan kemahalan yang didasarkan hitung-hitungan indeks per propinsi. Hal ini agar dapat menjadi reward bagi para ASN yang ditugaskan di daerah terpencil dan terluar. Selama ini penempatan ASN di daerah tersebut seolah dikaitkan dengan “orang buangan”. Padahal tujuan utama adalah demi NKRI.  Dengan reward yang sebanding maka ASN akan lebih berkarakter Indonesianisme daripada provinsialisme yang menjadi residu-residu desentralisme yang kebablasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun