Mohon tunggu...
Lisno Setiawan
Lisno Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Santai, Setia, Solusi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kaca Benggala Sang Proklamator

24 Maret 2015   07:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Indonesiamasih dirundung huru hara politik yang luar biasa. Mohammad Hatta pada tahun 1948 memberikan wacana ekonomi di depan perwakilan rakyat (saat itu masih bernama BPKNP). Dalam sebuah pidato yang dikenal dengan judul “mendayung antara dua karang”, beliau mengingatkan hal ihwal ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan negara. Sesuai tipikal tulisannya, ulasan tersebut tidak saja ulasan ilmiah semata tapi juga terdapat solusi praktis di dalamnya. Menurutnyasolusi atas ketimpangan fiskal adalah denganmengurangkan pengeluaran negera, memperbesar masuknya pajak, memperbesar produksi, dan mengadakan sanering.

Mohammad Hatta juga mengingatkan bahwa solusi tersebut bukan sebuah rumusan mati. Yang terpenting harus dilihat fakta-fakta di lapangan. Salah satu contohdalam pengurangan pengeluaran negara. Tidak bisa serta merta dilakukan pada tahun pertama. Hal ini karena pada saat yang bersamaanterjadi program rasionalisasi TNI yang dicanangkan oleh Pemerintah. Tentu saja dibutuhkan uang yang tidak sedikit pada masa peralihan tersebut.

Begitupun juga dalam solusi memperbesar produksi, terdapat beberapa kendala infrastruktur pada pertanian khususnya dalam ekstensifikasi produksi di Sumatera yang akan dijadikan lumbung pangan. Sedangkan untuk di daerah Jawa yang memiliki lahan dengan tingkat kesuburan sangat tinggi memiliki kendala sempitnya lahan. Mohammad Hatta punsebelumnyamengingatkan dan memberi solusi (lagi lagi sesuai tipikalnya) pada pidato di konferensi BTI pada tanggal 28 Januari 1946“Milik tanah yang terlalu kecil mengembangkan pauperisme, kemelaratan hidup, dan harus dikoreksi dengan jalan transmigrasi”.

11 tahun bergulir, terjadi peralihan sistem politik dari masa liberal ke demokrasi terpimpin. Ketimpangan fiskal masih menggelayuti. Saat itu Presiden RI, Soekarno melalui pidato yang berjudul “Amanat Penjelasan Presiden RI tentang tindakan-tindakan pemerintah di bidang keuangan dan ekonomi” yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) tanggal 26 Agustus 1959 mencetuskan beberapa rumusan yang hampir sama dengan Mohammad Hatta. Hanya saja urutan diubah.Tindakan utama adalah sanering. Setelah itu dilanjutkan dengan tindakan penyehatan anggaran belanja negara (mengurangi pengeluaran), penambahan pajak, penabungan (savings) terpimpin, perbaikan gaji PNS dan buruh, serta perbaikan sistim ekspor dan impor.

Tindakan sanering adalah melakukan penurunan nilai kertas Rp500 dan Rp1000 menjadi Rp50 dan Rp 100, membekukan 90% dari semua uang simpanan di bank-bank yang melebihi Rp25.000,-, serta menghapuskan bukti ekspor diganti menjadi pungutan ekspor. Tindakan tersebut dilakukan sebagai alasan untuk menghapuskan hot money yang telah mengacaukan sistim ekonomi baik di bidang distribusi maupun pembangunan ekonomi lainnya. Peraturan tersebut sangat menggegerkan dunia investor pada saat itu. Banyak yang kecewa. Tetapi sebagian besar masyarakat (menengah ke bawah) sangat senang. Hal ini karena Pemerintah tidak melakukan pemotongan uang Rp 100 menjadi Rp10.Kebijakan Pemerintah saat itu memang sulit untuk menyenangkan semua pihak.

Tepat 17 Agustus tahun ini Indonesia akan berumur 70 tahun. Namun, Ketimpangan fiskal menggelayuti ekonomi negara. Pemerintahan Jokowi melalui Menteri keuangan, Bambang Brodjonegoro, tidak tinggal diam. APBNP 2015 yang ditetapkan oleh DPR RI pada Sidang Paripurna tanggal 13 Februari 2015semakin menggambarkan bahwa rumusan para founding father masih up to date. Secara singkat isi APBNP 2015 tersebut adalah menaikkan pajak, penghematan anggaran khususnya belanja subsidi dan belanja perjalanan dinas, serta menaikkan penanaman modal negara kepada BUMN gunameningkatkan infrastruktur,kedaulatan pangan dan energi. Sangat menarik sekali. Dalam era reformasi, baru sat iniprogram-program infrastruktur diimplementasikan dalam kerangka anggaran secara riil. Pada tahun tahun sebelumnya Pemerintah lebih memilih memperkuat daya beli masyarakat dengan memberikan subsidi BBM sangat besar. Momentum penurunan harga minyak dunia, disambut oleh Pemerintahbaru denganberusaha mewujudkan mimpi-mimpi yang sudah lama terpendam dalam dokumen-dokumen perencanaan nasional. APBNP 2015 difokuskan membangun pondasi yang kuat yang akan berdampak besar bagi ekonomi.

Selanjutnya Menkeu juga akanmelakukan tindakan-tindakanguna memperkecil defisit transaksi berjalan (Tempo, 11 Maret 2015). Salah satu cara yang ditempuh adalah mengubah aturan pajak khususnya pemberian tax allowance bagi pengusaha yang menginvestasikan kembali dividennya di dalam negeri, serta pengaturan bea dumping dan pengamanan sementara. Sedangkan untuk nilai tukar rupiah, Pemerintah sepertinya menunggu kondisi terkini pasar luar negeri sembari melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga psikologis pasar.

Apakah dengan usaha-usaha Pemerintah ini maka sudah menjamin akan tercapai target yang diharapkan dalam visi misi Presiden?Jawabannya tidak. Karena nilai APBN hanyalah seperlima dari Produk domestik bruto. APBN hanyalah sebuah stimulus terhadap lautan perekonomian yang banyak dikuasai oleh swasta.

Melihat pengalaman pemerintahan sebelumnya (era Susilo Bambang Yudhoyono), terdapat program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai sinergi Pemerintah dan Swasta, tetapi kurang berhasil dalam sisi implementasi. Salah satu kelemahan program MP3EI adalah kurang mendapatkan sambutan dari pihak swasta khususnya perbankan. Hal ini dikarenakan perbankan di Indonesia lebih tertarik untuk memberi dukungan modal pada proyek jangka pendek seperti properti daripada proyek MP3EI (seperti jembatan dan tol) yang berjangka panjang.

Disamping juga terdapat kendala pembebasan tanah dari proyek-proyek tersebut.Khusus untuk perbankan proyek jangka pendek lebih memberi dukungan cash flow dan minim fiscal risk. Pada saat itu, Pemerintah tidak mampu meyakinkan atas keberlangsungan proyek-proyek yang telah direncanakan.

Pada program-program nasional ke depan, Pemerintah baru akan diuji tingkat kepercayaannya khususnya olehdunia perbankan. Percepatan izin usaha dan juga usaha meminimalkan “dana siluman” yang membebani dunia usaha mutlak harus dilakukan. Selain itu usaha lobi-lobi atas ganti rugi tanah warga harus berjalan lebih cepat. Untuk kendala yang terakhir Presiden Jokowi sudah memiliki pengalaman yang banyak pada saat menjadi Walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta.

Sinergi antar kementerian negara/lembaga, BUMN,lembaga-lembaga negara, serta lembaga independen seperti Bank Indonesia, LPS, dan Otoritas Jasa Keuangan adalah mutlak diperlukan.Dukungan politik dari wakil rakyat serta dunia usaha juga termasuk yang utama. Tidak ada lagi waktu berpangku tangan. Apabila tidak ada kesungguhan dari elemen-elemen tersebut, maka kegagalan akan tampak di depan mata sebagaimana akhirul kata Mohammad Hatta dalam pidatonya :

“penyelenggaraan program nasional menghendaki usaha sungguh-sungguh dan rasa penuh tanggung jawab pada pihak Pemerintah, pergerakan dan masyarakat. Apabila kesungguhan itu tidak ada, program tinggal program, pelaksanaannya tidak tercapai”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun