Mohon tunggu...
Lisno Setiawan
Lisno Setiawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Santai, Setia, Solusi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menggugah Peran Rakyat dalam Pembahasan APBN

13 Februari 2015   06:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:18 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_396571" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama ini menjadi salah satu pekerjaan pejabat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang jauh dari pantauan publik. Output dan realisasinya pun tidak bisa diperiksa dan dinikmati langsung oleh kebanyakan rakyat.

Ibarat masakan, menu anggaran dimasak secara khusus di dapur sang koki, pemerintah dan DPR dengan resep yang tidak diketahui publik. Hasil masakannya pun, hanya sebagian masyarakat yang bisa mengerti dan menikmatinya.

Meskipun, pembahasan anggaran secara formal dibahas secara terbuka dan dalam kawalan awak media hanya pada saat finishing atau memberi bumbu-bumbu terakhir sebelum disuguhkan. Rakyat tidak pernah dilibatkan sejak proses awal meracik menu anggaran itu.

Bahkan mantan Ketua DPR, Marzuki Alie pernah menyatakan ‘rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu’. Pernyataan sang mantan pimpinan lembaga legislatif itu sangat ironi.

Demikianlah yang terjadi dalam pembahasan APBN. Publik hanyalah penonton drama penentuan triliunan rupiah. Ada sedikitlah sentuhan media massa dari para pengamat ekonomi dan LSM-LSM pada saat pembahasan, tapi efeknya sangat tidak signifikan. Karena dalam skema pembahasan APBN harus diatur dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPD serta tata tertib DPR yang  sangat padat dan hampir dikatakan tidak memberikan ruang publik untuk berbicara.

Dalam praktik penyusunan APBN, saat ini partisipasi publik hanya dilakukan melalui dua metode. Itu pun hanya lahir pada fase penyusunan, bukan pada saat pembahasan. Pertama, mengajukan usulan kepada DPR atau DPD pada saat masa reses yang menampung aspirasi. Metode ini memiliki kelemahan bahwa aspirasi yang dibawa lebih bersifat subyektif. Hal ini karena aspirasi yang dijaring lebih pada pelaksanaan janji kampanye anggota Dewan. Kedua, penyampaian usulan kepada Pemerintah. Usulan ini dapat diajukan dengan banyak cara.

Direktif presiden setelah melakukan pemantauan atau saat ini dikenal blusukan. Dapat pula dilakukan oleh unit pemerintah dengan mengevaluasi program-program kegiatan tahun sebelumnya. Kelemahan metode kedua adalah aspirasi masyarakat harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pandangan-pandangan alternatif terbaik sekalipun sulit melaju dalam tahap pembahasan RAPBN apabila tidak masuk prioritas-prioritas utama RAPBN.

Dengan terbatasnya peran publik pada pembahasan APBN, maka aspirasi publik terbaik yang tidak tertampung akan menjadi sia-sia. Seperti perahu di tengah ombak besar. Terombang-ambing dan karam. Sedangkan kegiatan prioritas yang tidak mendengarkan aspirasi publik akan berdampak pada ketidakjelasan output.

Bahkan dapat menimbulkan ketidaknyamanan rakyat pada saat eksekusi. Salah satu contoh program APBN yang tanpa memperhatikan aspirasi publik dan akhirnya menimbulkan gejolak sosial adalah pembangunan gedung baru DPR pada tahun anggaran 2013.

Gejolak sosial masyarakat pada media massa akhirnya membatalkan pembangunan gedung baru DPR pada saat itu. Yang kita lihat di sini bukan, tuntutan rakyat menang dengan pembatalan pembangunan gedung baru tersebut. Tapi harus dilihat ada ketidakefektifan penyusunan APBN yang tidak melihat gejolak sosial akibat tidak diakomodirnya suara masyarakat. Apabila dilihat lebih jauh, pembatalan program pembangunan pada program APBN di tengah jalan tidak akan disertai dengan tindakan realokasi anggaran ke program yang lebih efektif, artinya terdapat double loss, yakni gejolak sosial dan adanya ketidakefektifan perencanaan.

Partisipasi Publik dalam APBN

Dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 pasal 96 telah diatur partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali Undang-undang APBN. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/dan atau tertulis melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan seminar/lokakarya/diskusi. Dari ketentuan ini jelas, Pemerintah dan DPR harus memberi ruang publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun itu hanya teorinya, faktanya sangat sulit.

Dalam hitungannya, misal RUU APBN biasanya diajukan oleh Pemerintah pada tanggal 16 Agustus. Sesuai dengan ketentuan UU Keuangan Negara, APBN harus ditetapkan 2 bulan sebelum tahun anggaran dimulai (akhir bulan Oktober). Praktis Pemerintah hanya memiliki waktu 2 bulan 2 minggu dalam pembahasan APBN atau lebih dikenal pembahasan tingkat I yakni (17 Agustus sampai dengan 31 Oktober). Perlu diinformasikan, APBN itu dalam pembahasan tingkat I ada beberapa tahapan yakni Badan Anggaran dan Komisi-Komisi. Seringkali untuk memenuhi target tersebut Pemerintah dan DPR melakukan rapat sampai tengah malam. Dari sini sangat tidak dimungkinkan unsur partisipasi publik masuk dalam ranah perubahan RUU APBN tanpa melalui usulan DPR dan Pemerintah.

Sebagai perbandingan pada negara-negara Eropa, Amerika dan Australia sudah dikenal forum Parliamantary Budget Office yang telah dilaksanakan oleh 22 negara dalam penyusunan APBN.  PBO merupakan kumpulan para pengamat independen dan juga akademisi yang diberikan amanat untuk mengkaji rancangan APBN yang diajukan Pemerintah. Rekomendasi itu menjadi salah satu acuan bagi DPR untuk membahas lebih lanjut RAPBN sebelum memutuskan untuk menolak atau menyetujui APBN. Keunggulan PBO adalah memberikan ruang publik kepada kelompok masyarakat berdasarkan pandangan-pandangan secara intelektual di bidangnya maupun sosial, serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa ada intervensi politik. Rekomendasi dengan rasa non partisan disertai dengan alasan akademis dapat menjadikan alternatif atas rencana kegiatan Pemerintah yang tidak mendapatkan persetujuan dari DPR pada saat pembahasan.

Pemenuhan aspirasi publik termasuk dalam pembahasan merupakan kewajiban Pemerintah dan DPR, karena  hal ini merupakan suara rakyat dalam ranah demokrasi. Selain itu, tidak ada konstitusi yang menentang keterlibatan masyarakat dalam pembahasan APBN secara langsung.

Dalam jangka pendek, aspirasi publik dapat disisipkan dalam jadwal pembahasan RAPBN,  selain dua layer yang menjadi pembahas utama yakni Badan Anggaran dan Komisi, terdapat pertimbangan DPD. Pertimbangan DPD merupakan sebuah forum yang digunakan DPR untuk mendapatkan pertimbangan formal terkait DPR sebagaimana amanat UU MD3. Dalam praktiknya, forum ini lebih bersifat formalitas dan berlangsung cepat (1 hari).

Merujuk mekanisme dalam jadwal pembahasan di atas, secara jangka pendek, forum aspirasi publik dapat dimunculkan dalam forum yang hampir sama dengan DPD. Tentu saja forum seperti ini dapat dilaksanakan apabila sang penguasa senayan berkehendak. Forum ini dapat dimunculkan dalam agenda resmi di rapat paripurna DPR RI sebelum pembahasan APBN dimulai. Forum ini lebih pas dijadwalkan beriringan dengan rapat pertimbangan DPD.

Pertimbangan DPD dan aspirasi publik lebih pas dilaksanakan sebelum masuk pada rapat komisi-komisi dengan kementerian teknis. Hal ini memberikan DPR dapat menyerap alternatif terbaik dan memberikan challenge atas program-program prioritas yang diajukan Pemerintah. Tentu saja, Kementerian Teknis akan dituntut menyiapkan program-program dengan dasar yang kuat agar dapat bisa mengalahkan argumen DPR dengan acuan pertimbangan dari forum DPD dan forum aspirasi publik.

Dalam forum aspirasi publik dapat diwakilkan kepada kelompok masyarakat (universitas, pengamat ekonomi, pengusaha, dan kelompok tani dan nelayan, serta serikat buruh). Pemilihan kelompok ini dapat diusulkan oleh kelompok masyarakat mayoritas seperti organisasi keagamaan ataupun perguruan tinggi yang terpopuler. Tentu saja harus ada pembatasan jumlah anggota forum resmi.

Dalam jangka panjang, Pemerintah dan DPR dapat menetapkan forum aspirasi publik secara resmi dalam UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Kejelasan hukum ini penting agar pertimbangan yang diberikan bersifat legal dan tidak sekedar wacana biasa. Selain itu, Pemerintah dapat membuktikan bahwa RAPBN bersifat logis dan pro rakyat.

Tentu saja harapannya adalah DPR dan Pemerintah dapat memberikan lebih banyak ruang publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak saja sebagai pengakuan bahwa kesamaan hak berbangsa dan bernegara, tapi mengubah cara pandang bahwa masyarakat sebagai subyek dalam usaha kemakmuran rakyat, bukan lagi objek semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun