Mohon tunggu...
Zetty Azizatun Nimah
Zetty Azizatun Nimah Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah_Guru ngaji_Dosen_Instruktur

Hobi membaca dan menulis, travelling, mengajar, bercerita, melakukan sesuatu yang baru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belanja Pra Lebaran Antara Uforia dan Disforia

9 Februari 2025   11:52 Diperbarui: 9 Februari 2025   11:52 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbelanja menjelang Lebaran memang sudah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat secara turun temurun, baik di Indonesia maupun di negara-negara Muslim lainnya. Namun, apakah ini sekadar euforia atau bagian dari memuliakan hari raya? Mari kita lihat dari sudut pandang agama, budaya, dan sosial, serta bagaimana menerapkan konsumsi bijak menjelang Lebaran.

Berbagai Perspektif Belanja Pra Lebaran

1. Sudut Pandang Agama

Dalam Islam, Hari Raya Idul Fitri adalah momentum kemenangan setelah sebulan berpuasa. Islam menganjurkan untuk merayakan hari raya dengan suka cita, termasuk dengan mengenakan pakaian terbaik dan memberikan hidangan yang baik untuk keluarga serta tamu. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan bagi umat Islam. Maka barang siapa yang menghadiri shalat Idul Fitri, hendaklah ia mandi, mengenakan wangi-wangian jika ada, dan memakai pakaian terbaiknya." (HR. Ibnu Majah)

Namun, Islam juga mengajarkan keseimbangan dan larangan terhadap pemborosan. Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra: 27)

Maka, dalam konteks berbelanja menjelang Lebaran, sebaiknya dilakukan dengan niat yang baik, tidak berlebihan, dan tetap dalam batas kewajaran.

2. Sudut Pandang Budaya

Secara budaya, tradisi berbelanja menjelang Lebaran sudah ada sejak lama. Masyarakat terbiasa membeli pakaian baru, perlengkapan ibadah, serta bahan makanan untuk merayakan Lebaran. Ini mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan dalam keluarga dan masyarakat.

Namun, dalam perkembangannya, budaya konsumtif semakin meningkat, terutama dengan maraknya diskon besar-besaran dan promosi dari pusat perbelanjaan maupun marketplace online. Hal ini bisa menggeser makna sejati Lebaran dari kebersamaan dan kesederhanaan menjadi ajang konsumsi berlebihan.

3. Sudut Pandang Sosial

Dari sisi sosial, meningkatnya konsumsi menjelang Lebaran dapat memberikan dampak positif seperti menggerakkan ekonomi, terutama bagi UMKM dan pedagang kecil. Namun, ada juga dampak negatif, seperti meningkatnya perilaku konsumtif, utang berlebihan, dan kesenjangan sosial antara mereka yang mampu dan yang kurang mampu.

Oleh karena itu, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan finansial. Berbagi kepada mereka yang membutuhkan melalui zakat, sedekah, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama lebih diutamakan daripada berbelanja secara berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun