Sejarah Kelam Pegumulan interaksi Etnis Cina dan Jawa
Interaksi antara etnis Jawa dan Cina selama masa penjajahan di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup kompleks. Pada masa penjajahan Belanda, etnis Cina sering kali ditempatkan dalam posisi yang lebih menguntungkan, baik secara ekonomi maupun sosial, sementara etnis Jawa lebih banyak berada dalam lapisan bawah. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kedua kelompok, karena etnis Cina dianggap memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan kolonial dan kekayaan. Etnis Jawa yang mayoritas justru merasa tertindas oleh dominasi ini. Penindasan yang dirasakan oleh etnis Jawa semakin dalam karena adanya perbedaan dalam status sosial dan kekuatan politik yang memisahkan keduanya.
Ketegangan ini semakin memperburuk hubungan antara etnis Cina dan Jawa, khususnya ketika munculnya kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya adalah kebijakan pembatasan bagi etnis Jawa untuk bergerak bebas atau memperoleh keuntungan ekonomi yang sebanding dengan etnis Cina. Sebaliknya, etnis Cina didorong untuk menguasai sektor-sektor perdagangan dan ekonomi, yang membuat ketimpangan semakin besar. Meskipun demikian, ada beberapa interaksi positif di antara keduanya, seperti hubungan perdagangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ketegangan ini sering kali membuat perasaan saling curiga dan tidak percaya semakin kuat di kalangan masyarakat.
Ketidakpuasan pedagang pribumi terhadap dominasi Tionghoa dan kebijakan kolonial melahirkan kebutuhan untuk bersatu dalam organisasi yang dapat melindungi kepentingan ekonomi mereka. Â Pada tahun 1911, Haji Samanhudi, seorang pedagang batik dari Solo, mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan awalnya adalah melindungi kepentingan pedagang Muslim dari persaingan tidak sehat dengan pedagang Tionghoa.1911. Organisasi ini merupakan reaksi terhadap kebijakan kolonial yang cenderung berpihak pada pedagang Tionghoa. Ketidakadilan dalam sistem ekonomi, sosial, dan politik memotivasi pedagang pribumi untuk bersatu guna melindungi kepentingan mereka. SDI kemudian menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan nasional di Indonesia.
Usaha etnis Jawa untuk memenangkan dominasi atas etnis Tionghoa pada masa kolonial dilakukan melalui pembentukan organisas, penguatan jaringan ekonomi lokal, pendidikan, boikot terhadap bisnis Tionghoa, serta perlawanan sosial-politik. Meski demikian, usaha ini sering dipengaruhi oleh dinamika kolonial yang memperumit hubungan antara kedua kelompok.
Pergumulan Menuju Akulturasi budaya etnis Cina dan Jawa
Akulturasi budaya antara etnis Jawa dan Cina terjadi seiring berjalannya waktu, meskipun tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa dan Cina sering berinteraksi dalam pasar-pasar atau tempat-tempat kerja, dan hal ini membuka peluang untuk saling mempengaruhi budaya satu sama lain. Bahasa, makanan, dan ritual-ritual tertentu mulai saling bercampur dan menyatu. Contohnya, perayaan Imlek yang dilaksanakan oleh etnis Cina juga mulai dirayakan oleh beberapa komunitas Jawa, meskipun dengan adaptasi khas Jawa. Begitu pula dalam hal kuliner, banyak makanan yang awalnya berasal dari Cina yang kini menjadi bagian dari masakan tradisional Jawa, seperti mie pangsit atau lumpia.
Proses akulturasi ini memunculkan bentuk-bentuk tradisi yang lebih harmonis antara kedua kelompok, meskipun melalui tantangan yang berat. Di desa-desa dan kota-kota besar, pernikahan antara etnis Jawa dan Cina juga semakin sering terjadi, yang mengarah pada terciptanya identitas budaya yang lebih inklusif. Contoh nyata dari akulturasi ini adalah dalam seni dan hiburan, seperti wayang kulit yang diadaptasi dengan tema-tema Cina. Begitu juga dengan musik tradisional yang menggabungkan instrumen Jawa dan Cina. Perpaduan budaya ini menciptakan kesenian yang lebih kaya dan dapat diterima oleh masyarakat luas, tanpa mengesampingkan identitas masing-masing.
Pada akhirnya, akulturasi budaya antara etnis Jawa dan Cina di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun ada sejarah ketegangan, keduanya dapat membangun tradisi yang harmonis melalui pemahaman dan toleransi. Dalam masyarakat Indonesia modern, kolaborasi antara kedua kelompok semakin terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Pembauran budaya ini menghasilkan keragaman yang memperkaya identitas nasional Indonesia. Harmoni ini tercipta karena saling pengertian dan penerimaan terhadap perbedaan, yang mengarah pada kehidupan yang lebih damai dan saling mendukung. Ini membuktikan bahwa meskipun ada perbedaan yang mendalam, budaya Jawa dan Cina dapat bersatu dalam tradisi yang menghargai nilai-nilai keberagaman.
Kebijakan Gusdur Pada Penetapan Imlek  Sebagai Hari Libur Nasional Upaya Mewujudkan Harmonisasi Nusantara
Perayaan Imlek di Indonesia sempat dilarang pada masa Orde Baru, namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Imlek resmi diakui sebagai salah satu perayaan nasional yang diatur dalam Undang-Undang. Kebijakan ini diberlakukan melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2001, yang mengatur bahwa Imlek menjadi salah satu hari libur nasional yang sah. Keputusan ini mencerminkan kebijakan Gus Dur yang inklusif, yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan memberikan kebebasan untuk merayakan budaya mereka tanpa hambatan.