Akhir-akhir ini, istilah mokondo di media sosial Kembali viral. Khususnya, di platform TikTok yang memang menjadi gudang dari kata-kata gaul. Mokondo ditujukan para karakteristik lelaki yang negative.
"Mokondo" menggambarkan karakter pria yang terlalu pelit, tidak mau berkorban, atau memiliki mental "gratisan" terutama dalam konteks hubungan. Tentu, sifat seperti ini bisa menjadi masalah jika tidak ada keseimbangan atau tanggung jawab dalam sebuah relasi.
Sementara itu, "Lelaki Princes" merujuk pada pria yang terlalu memanjakan diri sendiri, cenderung egois, dan mengharapkan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya, tanpa mau berkompromi atau berkontribusi. Kedua istilah ini menjadi Bahasa gaul yang sedang trend di media sosial. Menolak "membangun generasi Mokondo dan Lelaki Princes" berarti berkomitmen untuk tidak mendorong atau membiarkan sikap semacam ini berkembang, baik dalam keluarga maupun masyarakat.Â
Faktor Munculnya Karakteristik Cowok Mokondo dan Lelaki Princes
Latar belakang munculnya fenomena "cowok Mokondo" dan "Lelaki Princes" dapat dilihat dari berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis yang saling berkaitan. Berikut ini adalah beberapa kemungkinan penyebab munculnya karakteristik ini:
1. Pola Asuh yang Tidak Seimbang
- Overprotection: Anak laki-laki yang dibesarkan dalam lingkungan yang terlalu memanjakan cenderung tumbuh dengan mentalitas bahwa segala sesuatu akan disediakan untuk mereka tanpa usaha.
- Kurangnya Pendidikan Tanggung Jawab: Tidak diajarkan untuk berkontribusi dalam keluarga, baik secara emosional maupun material, membuat mereka tidak memahami pentingnya berbagi beban.
2. Pengaruh Budaya Konsumerisme
- Mentalitas Serba Instan: Budaya konsumerisme modern sering mendorong keinginan untuk menikmati hasil tanpa usaha, yang tercermin dalam sikap enggan berkorban demi sesuatu.
- Media dan Hiburan: Representasi laki-laki dalam media sering kali menunjukkan gaya hidup mewah tanpa kerja keras, memengaruhi cara pandang mereka terhadap hubungan.
3. Kurangnya Pendidikan Emosi dan Empati
- Individualisme Berlebihan: Lingkungan yang menekankan kesuksesan individu tanpa memperhatikan kesejahteraan orang lain dapat menghambat perkembangan empati.
- Egoisme dalam Relasi: Hal ini bisa membuat seseorang lebih fokus pada apa yang mereka dapatkan, daripada apa yang bisa mereka berikan.
4. Ketidakseimbangan Gender dalam Pendidikan
- Dalam beberapa budaya, anak laki-laki sering mendapatkan "kelebihan hak" dibandingkan anak perempuan, dengan anggapan bahwa laki-laki adalah "raja" yang berhak dilayani. Hal ini menciptakan mentalitas malas berkontribusi dalam hubungan.
5. Tren Sosial yang Membentuk "Lelaki Princes"
- Fokus pada Penampilan: Lelaki yang lebih peduli pada penampilan dan gaya hidup daripada tanggung jawab cenderung mengembangkan perilaku egosentris.
- Ketergantungan Finansial: Dalam beberapa kasus, lelaki yang terbiasa hidup dari fasilitas orang tua atau pasangan enggan untuk mengambil peran sebagai pemberi kontribusi finansial.
6. Ketidakseimbangan dalam Hubungan
- Ekspektasi yang Salah: Lelaki Mokondo mungkin tumbuh dengan keyakinan bahwa wanita harus selalu "berkorban" secara material dalam hubungan, sementara mereka hanya fokus pada "manfaat" yang diterima.
- Pengaruh Lingkungan Sosial: Teman atau komunitas yang membenarkan sikap ini bisa memperkuat perilaku buruk.
Bagaimana Mengantisipasi Berkembangnya Karakter Mokondo dan Lelaki Princes?
Dampak Fenomena Ini adalah relasi yang tidak sehat, di mana satu pihak merasa dieksploitasi, Melemahnya rasa tanggung jawab kolektif dalam hubungan, keluarga, dan masyarakat. Dan lahirnya generasi yang enggan berkontribusi atau berbagi beban, baik secara emosional maupun finansial. Hal semacam ini perlu dikendalikan agar karakter negatif ini tidak menjadi penyakit di kalangan generasi muda kita. Perlu adanya perubahan paradigma melalui pendidikan, pola asuh yang lebih sehat, dan pembentukan budaya yang mendukung empati, tanggung jawab, dan kerja sama dalam hubungan.