Mohon tunggu...
Zetty Azizatun Nimah
Zetty Azizatun Nimah Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah_Guru ngaji_Dosen_Instruktur

Hobi membaca dan menulis, travelling, mengajar, bercerita, melakukan sesuatu yang baru

Selanjutnya

Tutup

Diary

Abahku (Part 1)

5 Desember 2024   22:14 Diperbarui: 5 Desember 2024   22:26 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ayah dan Anak perempuan, gambaran kerinduan (Fot0 bersumber https://pixabay.com/id/photos/ayah-anak-perempuan-pantai-6870198/)

Masih melekat di memoriku senandung Ande-ande lumut lagu daerah kediri yang menghantarkan pada buaian mimpi indah tidur nyenyak masa kecilku dalam gendongan hangat sang Abah, sosok yang kuidolakan sejak kecil. Kesabarannya dengan kenakalan tingkah polahku, ketegasannya ketika ku lari dari jam mengaji bakda maghrib yang siap dengan kemoceng di tangannya untuk menakutiku, senyum ramahnya yang membuat hati ini hangat dan bersemangat, kata-kata lembutnya dalam menasehati masih terngiang dalam telingaku.

Masa pensiunnya mengharuskan pulang kampung dan berada pada posisi LDR (Long Distance Relationship) dengan ibunda yang masih bertugas sebagai guru PNS di MTsN Sidoarjo. Keputusan spontanku sebagai bocah usia 7 tahun ikut abah ke kampung merupakan bentuk rasa hormat akan kharismatiknya.  Masa inilah menjadikan Abah adalah teman terdekat untuk curhat dan setia mendengarkan kisah-kisah menariknya. Pernah dengan vespa hijau buntutnya, aku diajak bersilaturrahmi ke saudara-saudara di kabupaten lain yang lumayan jauh dari rumah. Vespa berjalan, sambil berjongkok dan terkantuk-kantuk di depan sadel Vespa mendengarkan cerita Abah. Tidak bosan abah bercerita tentang apa saja, entah itu silsilah keluarga, cerita masa penjajahan Jepang dan Belanda di masa remajanya, kesadisan PKI di tahun 60 an, cerita kesaktian para kyai menghadapi para penjajah dan makar negara, bahkan kisah romansa dengan ibunda, seakan diri ini diajak kembali ke masa lampaunya. Cerita Abah terus mengalir dan terekam dalam kenangan indahku yang secara estafet kuceritakan kepada anak-anak.

Kembali ke kampung dan panggilan memakmurkan masjid di depan rumah merupakan naluri Abah sebagai seorang santri alumni Pondok Pesantren Lirboyo. Sebagai seorang tokoh agama di desa, membentuk diriku juga harus pandai dan alim seperti Abah, maka madrasah dan pesantren pilihanku sebagai jalan mengukir masa depan. Pemikiran moderatnya kurasakan dalam dialog-dialog ringan masalah agama dengan beliau. Bahkan beliau juga menerima pandanganku yang berbeda dengannya serta menghormati pemikiranku, angkat topi untuk beliau yang sudah mengajarkan cara berpikir yang moderat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun