Mohon tunggu...
Zeto Bachri
Zeto Bachri Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat

Zeto -Lawyers 021-2300229

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum di Indonesia

8 April 2021   13:30 Diperbarui: 8 April 2021   13:33 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan hakim dapat menjadi sumber hukum formal apabila putusan tersebut diikuti oleh hakim setelahnya yang dikenal sebagai yurisprudensi. Yurisprudensi bisa lahir berkaitan dengan adanya prinsip di dalam hukum bahwa hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka dalam menangani perkara hakim dapat melakukan  (F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Administrasi Negara, 2006 : 36) :

  • Menerapkan secara in concreto aturan-aturan hukum yang sudah ada (secara in abstracto) dan berlaku sejak sebelumnya.
  • Mencari sendiri aturan-aturan hukum berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Yurisprudensi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Peranan yurisprudensi di Indonesia sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber hukum yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara. Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif. Fungsi yurisprudensi sendiri dalam hal hakim membuat putusan adalah mengisi kekosongan hukum karena menurut Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B.), hakim tidak boleh menolak perkara karena tidak ada hukum yang mengatur. Kekosongan hukum hanya bisa teratasi dan ditutupi melalui judge made law yang akan dijadikan pedoman sebagai yurisprudensi sampai terciptanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku.

Definisi yang umum dipahami dari pengertian yurisprudensi adalah pengertian yang digunakan oleh Soebekti yang menyebutkan pengertian yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan MA sendiri yang tetap. Dengan kata lain, selama  ini secara umum pengertian yurisprudensi merupakan putusan MA yang bermuatan terobosan hukum sehingga terus-menerus diikuti oleh pengadilan- pengadilan di bawah hierarki MA, bahkan secara normatif terdapat ketentuan yang mengatur bahwa pengumpulan yurisprudensi adalah kewenangan eksklusif MA. Namun dalam perkembangan terkini ternyata istilah yurisprudensi juga digunakan untuk merujuk keterikatan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa isu hukum tertentu.

Dari segi teori dan praktik, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law maupun common law. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para hakim dalam sistem hukum civil law, memang berbeda dengan sistem hukum common law (lus Effendi Lotulung, Peranan Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum, 1997 : 10). Bagi negara common law (Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan), yurisprudensi memang merupakan sumber hukum terpenting. Judge made law mengambil tempat terpenting di samping statute law (hukum undang-undang). Sedangkan secara hukum, kekuatan mengikat yurisprudensi bagi negara-negara dengan sistem hukum civil law hanya mengikat secara persuasive precedent sehingga hakim-hakim dibawahnya atau setelahnya diperkenankan tidak mengikuti yurisprudensi.

Bahwa terdapat adagium "hakim sebagai mulut undang-undang" sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara dengan sistem hukum kontinental sekalipun. Di Belanda yurisprudensi dianggap sebagai sumber hukum yang penting. Dengan demikian terjadinya pertemuan yang tepat antara sistem hukum common law dan kontinental. Dengan otonomi yang ada, Hakim berkesempatan untuk membuat hukum yang baru melalui putusan-putusannya, apalagi ketika hukum lama tidak memadai. Bahkan Richard A.Posner mengatakan bahwa hakim lebih baik jika dipandu dengan kecerdasan buatan (digitized artificial intelligence programs) jika semata-mata hanya menerapkan aturan text hukum sebagaimana adanya bukan sebagai bagaimana seharusnya (Posner A. Richard, How Judges Think 2008 : 29).

Kalangan praktisi sering membedakan antara "yurispudensi tetap" dan "yurisprudensi belum tetap". Belum ada kesepakatan defenisi yurisprudensi tetap dan yurisprudensi belum tetap. Tetapi beberapa pendapat dan pendirian Hakim Agung pada MA RI, pengertian yurisprudensi tetap adalah "Putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran objektif yang telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama". Contoh hukum yurisprudensi tetap, antara lain Putusan MA No.63 K/Pdt/1987 "Dalam hal Tergugat membayar harga barang yang dibelinya dengan Giro Bilyet yang ternyata kosong, maka dapat diartikan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan mempunyai utang atau pinjaman kepada Penggugat sebesar harga barang tersebut dan tentang ganti rugi karena pembeli terlambat membayar, maka ganti rugi tersebut adalah ganti rugi atas dasar bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu 6 % setahun. Dipandang adil juga apabila  hakim apabila hakim mempertimbangkan besarnya bunga yang tidak diperjanjikan tersebut, sebesar umumnya suku bunga bank yang berlaku pada saat suatu perjanjian itu dibuat (Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,2014 :  11).

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2/1972 tentang Pengumpulan Yurisprudensi, ditentukan bahwa demi terwujudnya kesatuan hukum maka hanya MA satu-satunya lembaga konstitusional yang bertanggungjawab mengumpulkan yurisprudensi yang harus diikuti oleh hakim dalam mengadili perkara. Surat Edaran tentang pengumpulan yurisprudensi tersebut sampai saat ini belum pernah dicabut oleh MA dan masih tercantum dalam Himpunan SEMA dan Perma Tahun 1951-2007 yang diterbitkan oleh MA pada tahun 2007, dengan demikian masih berlaku dan menjadi pedoman dalam pengumpulan, penerbitan dan publikasi yurisprudensi.

            Zeto Bachri SH.,MH.

                       Advokat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun