Perbedaan Antara Perkara Wanprestasi dengan PenipuanÂ
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah tidak  memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (bukan karena suatu keadaan yang memaksa) sebagaimana ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitor. Wanprestasi didalam pasal 1238 KUH Perdata menyatakan bahwa : "Siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan''.
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :
- Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Menentukan wanprestasi dalam suatu perjanjian kadang tidak mudah karena kapan pihak yang diwajibkan melakukan prestasi sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat. Dalam hal prestasinya berupa debitur tidak berbuat sesuatu, maka sejak debitur berbuat yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian, debitor telah wanprestasi. Apabila bentuk prestasinya berupa berbuat atau memberikan sesuatu batas waktunya ditentukan dalam perjanjian, maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitor dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan batas waktunya maka debitur yang melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis atau somasi dari kreditur yang diberikan kepada debitur.
Karakteristik wanprestasi lahir dari hubungan kotraktual. Dalam melakukan identifikasi suatu perkara wanprestasi dapat diketahui awalnya yaitu ada atau tidaknya hubungan kontraktual (characteristics of default is always preceded by a contractual relationship). Kontrak dibuat sebagai instrumen yang secara khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan-kepentingan yang bersifat privat atau perdata khususnya dalam perbuatan kontrak.
Tindak pidana penipuan diatur dalam BAB XXV tentang perbuatan curang (bedrog) pasal 278 KUHP yang menyebutkan sebagai berikut :
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun".
Berdasarkan bunyi pasal diatas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah :
- Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
- Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang;
- Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan  (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat  rangkayan kebohongan).
Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 26 Juni 1990 Â Nomor 1601K/Pid/1990 yang menyatakan: " Unsur pokok delict penipuan (ex pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang digunakan oleh si pelaku delict dalam menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang. "
Prinsip dasar tindak pidana penipuan adalah tidak jujur cara untuk memperoleh harta yaitu dengan curang/tipu muslihat juga tidak jujur dalam memperoleh manfaat atau keuntungan melalui akal muslihat sehingga korban merasa ditipu.
Konsep wanprestasi merupakan domain hukum perdata. Menurut pasal 1234 perdata bahwa tujuan dari perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu seringkali menimbulkan keragu-raguan dan memerlukan penjelasan. Berbuat sesuatu adalah bersifat positif  dalam hukum pidana disebut delik komisi, tidak berbuat sesuatu bersifat negatif dalam hukum pidana dikenal dengan delik omisi delik pembiaran.