Bandung, Juli 2021. Sekolah Penggerak, mungkin masih asing di telinga sebagian masyarakat Indonesia, bahkan oleh mahasiswa berlatar belakang pendidikan sekalipun. Kurangnya sosialisasi, memanfaatkan teknologi secara menyeluruh hingga in house training (IHT) yang menyulitkan guru selama di masa pandemi. Merupakan sejumlah polemik nyata yang terjadi diawal implementasi sistem pendidikan terbaru ini. Belum lagi masih banyak keluhan pembelajaran terhadap sistem baru ini, sebab tak jarang konteks yang dianggap "memudahkan" justru malah menyulitkan bagi sebagian pihak. Mungkin sebagian dari anda bertanya tanya, apa itu sih sekolah penggerak?.Â
Sekolah penggerak merupakan sebuah rancangan kurikulum baru yang digadang-gadang untuk mempermudah guru maupun proses pembelajaran. Dengan mengkonversi RPP, LKS hingga sistem penilaian ke dalam suatu modul, dengan penambahan profil Pancasila sebagai penguat aspek afektif nya. Diharapkan kurikulum sekolah penggerak dapat menjadikan modul ajar sebagai acuan dasar bagi guru dan siswa dalam melakukan pembelajaran.Â
Penulis melakukan penelitian pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 12 Bandung sebagai tempat KKN tematik UPI. Dimana sasaran terhadap orang tua dan murid adalah memetakan kesulitan selama pembelajaran daring, serta sasaran terhadap guru adalah memetakan kesulitan penyesuaian kurikulum pada masa pandemi. Selama masa KKN yang berlangsung mulai tanggal 3 Juli 2021, didapati berbagai problematika baik dari guru, orangtua maupun siswa itu sendiri.Â
Sebagian besar orang tua siswa (23 dari 35 responden) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis sekolah penggerak tidaklah efektif. Selain itu, profil Pancasila yang diusung dalam modul ajar belum mampu mengangkat tingkat afektif siswa. Dari siswa sendiri pun sebagian besar (56 dari 68 responden) menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan substansi sekolah penggerak tidaklah memberi dampak yang signifikan bagi mereka.Â
Demikian pula dari guru sendiri, dimana penulis mendampingi Ibu Hj. Rini Sarworini, S.Pd (Bahasa Inggris) dan Ibu Oneng Rohaeti, S.Pd (Bahasa Indonesia). Beliau mengatakan bahwa sekolah penggerak menuntut mereka untuk menguasai pelbagai lingkup tekonologi di masa pandemi seperti ini. Usia mereka yang tak lagi muda menjadi halangan untuk menguasai IPTEK yang luas, ditambah masa IHT yang sangat sempit dan kurangnya sosialisasi menjadi aral untuk menerapkan sekolah penggerak. Tak jarang mereka meminta bantuan agar dapat dibantu dalam proses pembuatan modul, kelas online hingga materi ajar.Â
Hal ini harus menjadi evaluasi bagi sekolah penggerak sendiri, dimana baik dari kalangan guru hingga siswa sendiri tidak merasakan manfaat dalam proses pembelajaran. Dari berbagai permasalahan tersebut, penulis merasa sangat perlu untuk kemendikbud merevisi atau mengevaluasi kinerja dan implementasi kurikulum sekolah penggerak ini. Jangan sampai sekolah penggerak dianggap program efektif hanya melihat dari sudut pandang pendidik muda semata, tanpa memperhatikan keluhan dari pihak pihak lain.Â
Penulis juga berharap adanya sebuah sistem pendidikan yang lebih baik lagi, khususnya di masa pandemi ini. Kebutuhan akan kurikulum yang ringkas, memudahkan guru dan siswa hingga tetap berupaya memajukan nilai afektif siswa di tengah PJJ daring. Akhir kata, semoga para pendidik, pelajar maupun praktisi pendidikan lainnya mampu menemukan solusi yang tepat. Bukan sekadar asumsi dari sudut pandang satu pihak saja, melainkan bukti konkret pendidikan Indonesia mampu pulih pada atau pasca pandemi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H