Salah satu contoh permasalahan ekonomi yang dikaitkan dengan Islam adalah konsep riba dalam sistem perbankan. Dalam Islam, riba merujuk pada pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syariah Islam. Secara etimologis, riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan, dan dalam konteks Islam, riba diharamkan dan dijelaskan dalam Al-Quran sebagai suatu perbuatan yang tidak memiliki moralitas bagi pelakunya (Chair, 2014).Â
Oleh karena itu, banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim, termasuk Negara Indonesia yang telah mengembangkan sistem perbankan syariah yang bebas dari riba. Contoh riba dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dalam sistem perbankan konvensional. Misalnya, jika si a meminjam uang sebesar 10 juta rupiah dengan bunga 10% per tahun, maka setelah satu tahun si a harus mengembalikan uang sebesar 11 juta rupiah. Jika si a tidak bisa membayar uang tersebut sesuai waktu yang ditentukan, bunga tersebut akan terus bertambah bahkan dapat membuat si a semakin terlilit hutang.
Solusi permasalahan riba adalah dengan menggunakan sistem ekonomi dan perbankan syariah. Perbankan syariah adalah sistem perbankan yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam, dengan mengacu pada Al-Quran dan Al-Hadist. Fungsi bank syariah meliputi menghimpun dana, menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan, dan memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah. Bank syariah juga memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memastikan bahwa perusahaan sudah mematuhi prinsip syariah, baik dari produk dan layanannya (Novi, 2020).Â
Prinsip utama yang dapat membedakan antara bank syariah dengan bank konvensional adalah berupa larangan terhadap riba. Sebagai gantinya, bank dan nasabah akan berbagi untung atau rugi dari investasi atau usaha yang dibiayai oleh pinjaman tersebut. Misalnya, jika si b meminjam uang dari bank syariah untuk membuka usaha, maka bank akan menjadi semacam mitra dalam usaha tersebut. Jika usaha sukses dan mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut akan dibagi antara si b dan bank sesuai dengan kesepakatan. Sebaliknya, jika usaha rugi, maka kerugian tersebut juga akan ditanggung bersama.
Namun, perlu diingat bahwa perbankan syariah juga memiliki tantangan dan masalahnya sendiri, seperti : Â Tingkat literasi keuangan syariah masih rendah (8,93%), dan tingkat inklusi keuangan syariah juga masih tinggi (9,1%), klembagaan perbankan syariah belum sepenuhnya mapan, terutama dalam manajemen, tugas, dan wewenang, serta peraturan dan struktur keorganisasian, tingkat kompetitif produk dan layanan keuangan syariah belum setara dengan keuangan konvensional. Selain itu, masih ada pemikiran di masyarakat bahwa perbankan syariah lebih rumit dan kurang efisien dibandingkan perbankan konvensional, serta perlunya edukasi kepada masyarakat tentang cara kerja perbankan syariah (Ja'far, 2016) .
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI