Mohon tunggu...
Humaniora

Apa yang Bisa Dibanggakan di Instagram Seorang Pengangguran (Desa)?

18 Agustus 2017   13:44 Diperbarui: 18 Agustus 2017   13:52 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai seorang yang baru saja menamatkan pendidikan, saya mulai memasuki suatu fase dimana mayoritas orang pernah mengalaminya. Pengangguran menurut KBBI adalah orang yang menganggur (yang tidak mempunyai pekerjaan). Fase ini merupakan awal seseorang menjadi budak kapitalisme, dimana ia akan diperah tenaga dan waktunya untuk bekerja pada korporasi.

Bagi sebagian orang tentu sudah paham bagaimana tidak nyamannya menjadi seorang pengangguran. Apalagi saya, yang tinggal disebuah desa, dimana menjadi PNS merupakan cita-cita seluruh umat se-RW dan menjadi wirausaha adalah hal tabu bagi para lulusan perguruan tinggi, wirausaha dianggap hanya cocok untuk orang lulusan SMA atau SMP.

Oke, mari kembali ke topik. Menjadi pengangguran, apalagi di desa, sangat berat. Hampir sama beratnya ketika kamu ketahuan maling manga tetangga yang sedang masak-masaknya. Omongan tetangga tak bisa diacuhkan, setiap hari segala kelakuan kita menjadi bahan omongan ibu-ibu yang pagi-pagi pake daster nungguin tukang sayur di depan rumah. Jangankan tidak bekerja, lha wong kita yang punya sempak baru aja bisa diomongin kok. Padahal kita yang pakai, bukan urusan mereka kalau sempak kita kesempitan atau kedodoran.

Sebagai seorang pengangguran, di desa, saya hampir tidak memiliki bahan untuk diunggah di Instagram, apa coba yang mau saya banggakan. Kegiatan saya setiap harinya juga gini-gini saja. Pagi rebahan di kasur sampai emak mencak-mencak nyuruh buat mandi, siang dikit main ke tetangga yang lagi ngelatih burungnya buat lomba mingguan, sorean dikit kumpul anak-anak, entah ber-volly ria atau sekadar nyruput kopi. Malamnya nongkrong di pertigaan, kalo ada yang nemu ban bekas ya dibakar sambil gitaran+ketipungan sampai malam, untung-untungan kalau ada yang mengajak untuk membantu mengedarkan lpg keliling. 

Tapi gara-gara rencana pencabutan subsidi lpg3kg, dan diganti menjadi 5,5kg, kesempatan saya untuk berkeliling menjadi berkurang. Semua hal yang saya lakukan rasanya tak masuk kategori untuk foto yang layak untuk diunggah di Instagram. Masak iya saya unggah foto pas lagi di sawah cari rumput buat kambing, sambil bikin caption,"ternak aja aku rawat dek, apalagi kamu kalo entar jadi istri aku." Kalau ada yang berbaik hati memberi like, saya akan sangat bersyukur, meskipun nanti yang ngasih like hanya 5% dari pengikut di Instagram, sisanya lupa siapa saya, karena terlalu lama tidak pernah mengunggah foto di Instagram, dan sisanya lagi memblokir saya, karena foto saya yang dianggap sampah lini masa mereka.

Semenjam resmi menjadi pengangguran pula, saya mecopot aplikasi Instagram dari gawai saya. Kenapa? Instagram benar-benar membuat saya depresi. Bayangkan saja, mayoritas teman yang saya ikuti di Instagram setiap harinya mengunggah foto sedang plesiran, kalau ga gitu lagi berduaan dengan pasangannya sambil bikin caption ter-unch. Mencoba membuka insta story, ternyata isinya sama saja. Ingin rasanya ku makan gawaiku, tapi apa daya, gawai ini pembeli mbok tercinta. Semakin sering membuka Instagram, semakin saya bertambah depresi."Kapan mbok aku iso dolen koyo kancane?"

Tapi untunglah, ada penelitian yang menunjukkan Instagram menjadi media sosial yang berpengaruh paling buruk terhadap kesehatan manusia. Sejak saat itu saya mengkukuhkan diri, untuk tidak membuka Instagram sama sekali. Kecuali kalau sudah mendapat pekerjaan, dan bisa plesiran kemana-mana tanpa harus minta saku mbok e.

Untuk kalian para artis Instagram, tolong hormatilah kami para pengangguran yang tak bisa piknik seperti kalian. TTD pengangguran RT04

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun