Setiap tahun menjelang peringatan deklarasi kemerdekaan papua, yaitu bulan desember, kelompok separatis Papua meningkatkan intensitas kegiatannya. Seperti mengibarkan bendera Bintang Kejora, malaksanakan rapat rahasia, hingga melakukan aksi terror yang ditujukan kepada aparat keamanan dan masyarakat yang tidak bersalah. Aksi tersebut bertujuan untuk memancing perhatian dan reaksi internasional dan menunjukan eksistensi kelompoknya agar diakui masyarakat dunia. Manfaat dari eksistensi mereka adalah agar mereka dapat menggalang simpati dan dukungan dalam usaha melepaskan diri dari NKRI.
Menanggapi polemik isu HAM yang tak kunjung menemukan titik terang, Jaksa Agung Muda HM Prasetyo mengatakan bahwa tidak tuntasnya pengusutan masalah pelanggaran HAM di Indonesia dikarenakan Komnas HAM tidak mampu memberikan bukti dan hasil penyelidikan yang lengkap. Saat ini lebih bik Komnas HAM berfokus pada upaya menjembatani komunikasi antara pemerintah dengan pihak yang mengaku sebagai korban, dan meyakinkan agar masalah diselesaikan melalui jalur rekonsiliasi, karena kemungkinan untuk mengambil jalur yudisial sangat kecil.
Dalam kunjungan para delegasi MSG ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Papua Nugini Rimbink Pato mengatakan pihaknya tidak melihat adanya bukti pelanggaran HAM terjadi di Papua. Padalah penyelidikan mengenai masalah tersebut terus dilakukan. Isu pelanggaran HAM menjadi alasan untuk melepaskan diri dari Indonesia yang gencar dilakukan oleh pegiat pro kemerdekaan Papua. Papua Barat sebelumnya diusulkan masuk ke dalam MSG oleh Koalisi Pembebasan Papua Barat yang mendapat dukungan dari Vanuatu.
Berbagai kalangan politisi dan aktivis HAM Belanda semakin proaktif dalam memprakarsai beberapa advokasi dalam mengusut isu pelanggaran Ham di Indonesia. International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia menggelar seminar bertema 1965 Massacre: Unveiling The Truth Demanding Justice (Pembantaian 1965: Mengungkap Kebenaran, Menuntut Keadilan) di Den Haag pada 10 April 2015. Balanda kerap kali mempolitisasi isu HAM untuk menekankan kepentingannya pada Indonesia. Sebelumnya, hubungan antara Indonesia dan Belanda pernah beberapa kali mengalami ketegangan. Contohnya pada masa kepemimpinan Suharto, pemerintah Indonesia pernah sangat marah dengan ulah Belanda yang selalu melancarkan politisasi HAM dalam menekan maksud-maksud politiknya kepada Indonesia. Akibatnya, Indonesia membubarkan International Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah lembaga negara-negara yang memberi pinjaman ke Indonesia, dan lembaga ini selalu dipimpin oleh Indonesia. Yang kemudian membentuk lembaga baru Consultative Group on Indonesia, yang memiliki hubungan yang lebih longgar dengan Indonesia.
Dukungan pihak asing terhadap OPM
Â
Upaya pemerintahan saat ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu sudah tepat. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia (KKRI) merupakan langkah serius dalam menuntaskan kasus yang kerap dijadikan senjata politik pihak-pihak tertentu. Mekanisme rekonsiliasi sedah memiliki payung hukum yang jelas yaitu Pasal 47 UU Nomor 6 Tahun 2000 tentang HAM. Tindakan pemerintah tersebut telah menunjukan keseriusan pemerintah dalam menyoroti isu HAM dan memusatkan perhatian daam memperbaiki perilaku bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam kehidupan sehari-hari.
Isu pelanggaran HAM hanya digunakan sebagai senjatan politik untuk menyudutkan pihak tertentu. Akibatnya publik justru lalai dalam memperhatikan fenomena yang terjadi yang luput dari perhatian sehari-hari. Pihak yang merasa menjadi korban justru sebagai pelaku pelanggaran HAM tersebut. Semisal, banyak diantara aparat keaman yang bertugas di Papua menjadi sasaran pembantaian kelompok separatis. Selain itu masyarakat sipil, wartawan, maupun peneliti kerap diculik dan dibunuh oleh kelompok tersebut, yang seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan utamanya adalah untuk memancing perhatian publik.