Barangkali memang upayanya sudah sangat maksimal, ketika dengan percaya diri menerjunkan diri dalam kancah politik nasional melalui Pilkada DKI, keputusan SBY menurunkan AHY dengan mengorbankan banyak hal tentu tidak hanya perhitungan sia sia.
Hanya karena opportunitas yang sangat tinggi di depan mata dan pandangannya saat itu ketika memutuskan menarik AHY dari jenjang kemiliterannya untuk segera terjun kedalam kancah politik nasional yang tidak main main.
Gambling yang dipandang orang tentu bukan gambling dimata SBY, hanya beliaulah yang memahami dan mengerti serta memperhitungkan kemungkinan kemungkinan yang akan diperolehnya, karena hanya beliaulah yang tahu opportunitas itu ada dan muncul didepan matanya.
Sungguh hal yang sangat wajar, ketika opportunitas menghampiri kita secara individu, tentu saja akan mendatangkan kepercayaan diri yang sangat tinggi, walau tanpa didukung oleh para pembantu dan penasehatnya sekalipun. Pendapat yang tentu sangat subyektip bagi kita atau siapa saja yang memperoleh opportunitas dengan sangat mudah menafikan pendapat dan pandangan orang lain.
Demikianlah kira kira yang di pikirkan oleh para pembantu dan penasehatnya, ketika dengan sangat mendadak SBY mengajukan AHY sebagai kandidat GUbernur DKI, dengan konsekwensi berhentinya karier militer sekaligus karier resminya di dalam Pemerintahan atau Negara.
Dengan perencanaan karier yang demikian tertata sejak masuknya AHY di militer, tentu sangat mengecewakan para pembantu dan penasehatnya, seolah terhapus proyeksi yang dibangun selama ini, untuk persiapan dipetik dimasa yang akan datang.
Karena serba mendadak dan seolah terperengah oleh keputusan itu, maka persiapan untuk menerjunkana AHY didalam kancah politik nasional jadi tidak tertata dengan systematis, terkesan terburu buru dan seadanya.Â
Kajian yang serba singkat dan penuh dengan asumsi asumsi yang belum tentu kebenarannya, telah menghasilkan rona dinamika proses Pilkada, sejak kampanye hingga pilkada dilaksanakan.
seolah terseret oleh keadaan yang jelas tidak ada garis pokok perjuangan meraih posisi Gubernur DKI, telah menyulitkan diri sendiri dan juga seluruh jajaran pendukung AHY, carut marut kampanye yang dilakukan, baik dari pencitraannya, hingga materi kampanye menjadi sangat lemah dan tidak dibekali dengan data data yang kuat dan penelahaan yang mendalam.
Tentu saja hasil pilkada yang mengharuskan AHY terlempar dari Pilkada tahap I adalah konsekwensi logis diluar kepercayaan diri SBY, bahwa kekalahan AHY hanyalah pembuktian memang AHY belumlah siap untuk dapat dijadikan pemimpin untuk Tingkat Gubernur, baik dari segi kualitas diri pribadinya, maupun jam terbangnya didalam menghadapi kancah perpolitikan nasional.
Semua orang juga tahu, bahwa dinamika didalam masyarakat sangatlah berbeda dengan dinamika didalam kehidupan sebagai pegawai atau birokrat, apalagi kehidupan seorang Tentara yang didalam kehidupannya terisolasi terhadap dinamika sosial politik masyarakat.