Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Parasit dan Kita yang Terjepit

20 Maret 2016   20:23 Diperbarui: 20 Maret 2016   20:35 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

19 April 2015

Harian Indoprogress

MAJELIS Hakim PTUN Semarang kalahkan gugatan warga Rembang dengan alasan sederhana: gugatan kadaluarsa karena diajukan lebih dari 90 hari. Siti Zaenab dan Karni binti Medi Tarsim, warga Indonesia terpidana mati yang bekerja di Saudi, dipancung tanpa kabar, tak berjeda sehari. Pemerintah tak berdaya, mereka hanya bilang kesalahan Karni terlalu berat. Retno Listyarti, Kepala Sekolah SMA 3, juga Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menolak kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hendak menerapkan penilaian indeks integritas sekolah, diancam pecat karena tidak disipilin.

Lalu orang-orang bertanya: ‘Negara kemana?’ ‘Hukum berpihak pada siapa?’

Negara ada. Dan saat ini sedang berparade di Konferensi Asia Afrika, menjual sumber daya alam dan tenaga kerja dalam Asia Afrika Business Summit dan World Economic Forum. Hukum juga ada, dan akan berpihak pada penguasa atau publik tergantung besaran tekanan kuasa uang atau tekanan politik publik.

Protes sabar Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, dukungan netizen serta aksi-aksi solidaritas berbagai komunitas yang meluas, belum cukup memaksa Negara dan hukum membela warga. Demikian pula ratusan surat, berbagai petisi dan rangkaian aksi membela buruh migran Indonesia di luar negeri, serta berbagai kampanye menolak hukuman mati di dalam negeri, belum berhasil membuat Negara, minimal perangkat-perangkat hukumnya, berpihak pada tuntutan warga. Ini bukan kejadian satu dua kali. Sudah berlangsung lama dan berkali-kali.

Kekalahan demi kekalahan juga hadir ditengah beberapa kemenangan, walau kecil. Dicabutnya UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air oleh MK adalah salah satu kemenangan itu. Disebut kecil karena segera setelahnya Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan “Tak perlu gelisah, BKPM dan pemerintah sedang menyiapkan aturan baru sebagai payung hukum.” Dan payung yang dimaksud adalah komitmen Negara untuk memberikan jaminan kelanjutan investasi di sektor tersebut.

Bukan karena kecilnya kemenangan lantas perjuangan sia-sia. Tantangan kita adalah mengelola kemenangan kecil menjadi kekuatan untuk kemenangan besar. Kemenangan kecil itu sangat penting karena kita sedang ada dalam posisi terdesak. Namun, celakanya untuk mencapai yang kecil itu pun dibutuhkan perjuangan besar. Dan perjuangan besar berarti kekuatan sosial politik yang juga besar, tak saja dalam hal jumlah tetapi dukungan, efek viral, dan sejauh mana ia sanggup memaksa penguasa berubah pikiran. 

Kita sedang terus didesak untuk bertahan, dengan respon-respon persoalan jangka pendek mendesak. #Save ini dan #Save itu adalah wujud banyaknya persoalan darurat publik yang tak bisa dipilih dan dibanding-bandingkan tingkat urgensinya satu sama lain. Semuanya hanya merujuk ke satu hal: Negara dan sistem pro-kapital yang sedang berjalan ini sudah rusak, tubuhnya dipenuhi parasit yang hidup dari darah manusia.

Dengan tubuh seperti itu ia tambah tambun, duduk tenang dan semakin malas saja di sana. Kita hidup di dalam tubuh yang sama. Jika tubuh itu tidak diselamatkan, kita ikut mati bersamanya. Itulah saja fungsi berbagai cara perjuangan mempertahankan hak hidup di dalam tubuh Negara yang rusak ini: kita tidak mau mati. Semua obat-obatan dan cara untuk bertahan hidup dari serangan kapital dibutuhkan, dari yang modern berteknologi tinggi sampai tradisional. Semua keringat yang keluar dari perjuangan itu dan eksperimentasinya adalah tambahan kekuatan untuk melindungi hak-hak azasi kita.

Inilah tubuh masyarakat kapitalis dimana kita hidup. Kita tidak bisa memilih tubuh lain untuk bisa hidup bahagia sentosa. Darah yang mengaliri liku-liku pembuluh darah dalam tubuh ini adalah totalitas hidup seluruh relasi sosial. Sehingga menjelaskan masyarakat kapitalis hanya dalam wujud ekstraksi nilai-lebih seperti menjelaskan anatomi tubuh hanya melalui mekanisme jantung bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun