Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

‘Keajaiban’ Kontrol Selaput Dara

20 Maret 2016   17:55 Diperbarui: 20 Maret 2016   18:27 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

16 Februari 2015

Harian Indoprogress

SELAPUT dara bukan perkara moral, apalagi kemaslahatan sosial. Membran ini tidak memiliki fungsi anatomi yang diketahui. Entah bagaimana ia dijadikan ukuran untuk, kabarnya, mengurangi kejahatan sosial, alih-alih melindungi perempuan. Mitos-mitos soal selaput dara ini harus segera dihentikan, jangan terus menerus dibuat ajaib tidak keruan tanpa sempat mencerna apa sebetulnya fungsi-fungsinya dalam kehidupan sosial.

Seorang calon Polwan di Makassar diukur keperawanannya di dalam tes kesehatan. Caranya, dua jari dimasukkan ke lubang vagina di dalam ruang yang tidak privat, dapat disaksikan oleh 20 orang lainnya yang menunggu giliran pemeriksaan serupa. Sakit dan malu bercampur jadi satu. Demikian kesaksian seorang pelamar Polwan dalam video yang diunggah Human Right Watch (HRW), dalam petisinya menolak tes keperawanan masuk Polwan di Change.org.

Seorang anggota DPRD Jember, baru-baru ini, tak mau kalah. Anak-anak SMP-SMA diusulkannya untuk melakukan tes keperawanan, dan keperjakaan, untuk mengukur Ahlakul Karimah mereka. Sebelumnya, anggota DPRD Jambi dari fraksi PAN juga mengusulkan hal serupa tahun 2010. SMKN I Magetan, Jawa Timur, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan melakukan tes kehamilan pada 300 siswinya di tahun yang sama. Dinas Pendidikan Kota Prabumulih pada Agustus 2013, berencana melakukan tes keperawanan pada satu siswinya yang menjadi korban perdagangan anak. Di Sabang, tak cukup selaput dara, juga ukuran vagina dan payudara menjadi sasaran survei pada September 2013.

Semua ini terus terjadi di tengah suara-suara protes, meributkan baik pelanggaran, kebodohan maupun ketakutan di balik rencana tersebut. Protes berlalu, rencana serupa tak juga surut, hanya berpindah tempat dengan berjenis cara, dengan sasaran yang sama: perempuan dan selaput dara. Dari bertujuan memberantas seks bebas hingga membangun akhlak, selaput dara diburu hendak diukur-ukur. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersuara melarang, pendapatnya bukan atas dasar ketidaksetujuan prinsipil, melainkan ketidaksetujuan sasaran (baca: MUI hanya setuju tes keperawanan pada para pelaku zina yang tidak mau mengaku).

Inisiatif dari Jember cukup nyeleneh, karena tak saja selaput dara yang disasar namun juga bukti keperjakaan. Apakah semacam ‘keadilan’ dalam kontrol perilaku seksual dan moralitas perempuan dan laki-laki? Bagaimana mungkin mengadili sesuatu yang tidak bisa diukur? Bagaimana mengukur keperjakaan? Seperti halnya pula bagaimana keabsahan ukuran keperawanan? Dan yang paling penting adalah untuk apa itu dilakukan dan kenapaperempuan jadi sasaran?

Kita menolak tes keperawanan, bukan menuntut lelaki turut dites keperjakaan. Tes keperawanan, selain merupakan wujud kontrol atas seksualitas perempuan dari perspektif pro patriarki dan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, juga tidak beradab dan tidak ada gunanya. Satu-satunya kegunaan yang paling mungkin hanyalah tegaknya kuasa patriarkis atas perempuan.

Gagasan apa yang berdiri membekingi kontrol selaput dara ini, sehingga terus saja direproduksi dengan ajaib? Yang pasti bukan sekadar ulah laki-laki yang tidak manusiawi, keterlaluan dan anti perempuan. Ini semua berhubungan dengan cara masyarakat distrukturkan, atau yang keren disebut sebagai konstruksi sosial. Yaitu cara masyarakat mengorganisir produksi dan menstrukturkan hubungan-hubungan sosial yang berkesesuaian dengannya.

Perempuan menjadi sasaran kontrol seksual karena ia, semaju apapun cara produksi dan keseluruhan susunan masyarakat saat ini, masih saja diposisikan lebih banyak sebagai ‘petugas’ reproduksi, berstatus kawin, tanpa hak reproduktif dan hak seksualitas lainnya. Perempuan masih lebih banyak dianggap hanya sebagai objek seksual: menjadi pemuas dan penghias. Sekadar komoditas seksual. Perempuan masih lebih banyak mengalaminya ketimbang laki-laki, dan perempuan yang mengalaminya, jauh lebih banyak ketimbang perempuan yang mungkin mengalaminya lebih sedikit.

Sehingga, apa sebetulnya nilai keperawanan di dalam masyarakat yang kapitalis tetapi tetap patriarkis ini? Sebagai ‘petugas’ reproduksi, perempuan perawan diharapkan segera menikah dan bisa melahirkan anak, jika tidak bisa maka keperawanannya jadi tak bernilai. Ajaib. Sebagai perawan yang tak kunjung berstatus kawin nilainya lebih rendah di mata masyarakat: perawan tua sebutannya, sehingga perawannya pun tak lagi bernilai. Juga ajaib. Sebagai perawan yang menjadi korban perkosaan, dan hamil, nilai keperawanannya dibayar oleh perkawinan dengan pemerkosanya sendiri. Keterlaluan ajaibnya. Dan yang lebih ajaib lagi, keperawanan bisa dikembalikan. Lalu apa nilai keperawanan jika pada akhirnya ia hanya berfungsi untuk mereproduksi generasi? Sungguh ajaib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun