Perkawinan di bawah umur lazim di tempat ini. Tak ada alternatif. Sekolah tidak jalan, tambahan pendapatan keluarga tidak ada. Wombu seperti sengaja dibiarkan tak berkembang. Padahal Dinas Pendidikan, kesehatan dan bidang perempuan sudah datang dan meninjau, tetapi tetap tidak bertambah fasilitas sosial untuk masyarakat kampung. Sementara akses jalan sudah dibuka untuk lalu lintas logging perusahaan HPH, pedagang-pedagang mainan, baju, kebutuhan rumah tangga juga lebih mudah datang dan pergi.
Perempuan-perempuan itu sedang bertahan di tengah daya pikat barang-barang konsumtif. Mobil-mobilan anak-anak ukuran kecil dijual tidak kurang dari Rp. 50.000. Minum-minuman keras menjadi wabah baru yang menyerang anak-anak muda dan para suami. Tingkat agresi menambah beban sosial di rumah tangga.
***
“Sa tra mengerti kenapa dong tidak buat kantor sendiri. Asal dong bantu masak dan angkat air, ya biar suda.” Mama Suster, istri Kepala Distrik Naikere, mengatakannya sambil menjelaskan bahwa ada 29 orang TNI bermarkas di kantor Distrik saat itu.
Sebuah pos TNI yang entah bagaimana mengambil alih kantor Distrik dan dijadikan pos pemeriksaan orang-orang yang keluar masuk Kampung Wombu dan Sararti di Distrik tersebut. Setiap yang datang mesti melewati pengecekan sebelum bisa masuk ke Wombu. Suasana tidak seseram yang dibayangkan bila sanggup menawarkan fasilitas pada aparat di sana. Datanglah dengan Strada dan persiapan berburu, niscaya aparat akan ikut dan perjalanan ke Wombu jadi dimudahkan.
Wombu dan Sararti berada di wilayah konsesi pembalakan kayu PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS) seluas 115.800 Ha, yang berinduk pada Artha Graha Group. Sementara seluruh areal konsesi perusahaan tersebut berada di kawasan tanah adat orang-orang (suku) Mairasi dan Miere yang tersebar di enam kampung wilayah administrasi Distrik Naikere, termasuk Wombu dan Sararti.
Wilayah konsesi PT. KTS dahulu dimiliki oleh PT. Darma Mukti Persada (DMP), perusahaan yang menjadi sasaran protes orang-orang kampung terkait hak ulayat mereka pada tahun 2001. PT. DMP adalah salah satu anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia (KLI), yang dimiliki oleh konglomerat Gunawan Sutanto, salah satu kroni Soeharto. KLI memiliki lahan konsesi HPH terluas di tanah Papua, sekitar 1.313.185 Ha yang dikelola oleh 7 perusahaan HPH.
Izin IUPHHK-HA PT. KTS dikeluarkan Menteri Kehutanan pada tahun 2009 tanpa konsultasi dan restu masyarakat. “perusahaan tidak pernah membuat pertemuan dan surat kesepakatan pengolahan kayu yang mengikat secara hukum antara masyarakat dan perusahaan” demikian menurut Sarden Siweda, salah seorang tokoh masyarakat Wombu. Namun masyarakat tidak berani menolak kehadiran perusahaan karena trauma kekerasan masa lalu.
Pos TNI sudah lama berdiri di kawasan bekas areal PT. DMP itu. Sebelumnya mereka bermarkas di dekat Kampung Sararti, kemudian pindah ke kantor Distrik yang berjarak 45 menit berkendaraan dari Sararti. Pernah satu waktu, Pos TNI hendak dibangun lagi di dalam areal Kampung Wombu, namun Kepala Suku dan Kepala Kampung menolak tegas.
Bukan tanpa alasan pos TNI ada di Naikere hingga saat ini. Selain sebagai mitra perusahaan, Wombu, Sararti, Inyora, Undurara, hingga Ambumi di Distrik sebelah, adalah situs-situs rangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat Wasior Berdarah tahun 2001. Aktivitas-aktivitas masyarakat di kampung-kampung tersebut masih terus diawasi hingga kini.
Sekitar tahun 2013, pasukan TNI mendatangi Wombu, mengancam Kepala Kampung memberikan informasi tentang adanya pelatihan bersenjata di “atas”—sebutan terhadap areal pegunungan Inyora dan Undurara. Kepala Kampung Wombu, Noak Urio, marah atas kedatangan tentara tanpa permisi dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia mengatakan: “Mari kita lihat ke atas, kalau ada silahkan bapak tembak saya, tetapi kalau tidak, apa saya bisa tembak bapak? Jangan buat informasi sembarang.”