Tidak mudah melakukannya, apalagi di tengah reorganisasi kelas pekerja dan sistem ketenagakerjaan oleh neoliberalisme melalui Labor Market Flexibility. Buruh dipaksa beradaptasi, diupah semakin tak sesuai dengan nilai kerja—yang tinggi bisa sangat tinggi yang rendah semakin rendah, dikondisikan agar menerima situasi kerja dan didorong kreatif atasnya, dibuat bersaing satu sama lain dan tak punya waktu memikirkan urusan-urusan publik. Semakin berupah rendah buruh tercerai berai dan sulit memahami kekuatannya dalam perjuangan jangka panjang.
Karyawan, pekerja, pegawai negeri, dan semua mereka yang hidupnya bergantung pada kerja-upahan adalah buruh. Persoalan identifikasi dan identitas sebagai buruh yang belum melekat pada 125 juta angkatan kerja, atau setengah populasi Indonesia yang berusia di bawah 30 tahun, adalah persoalan historis. Gerakan buruh sebagai sebuah kekuatan politik aktif dibabat habis semasa kediktatoran Soeharto. Pemisahan “status”antara buruh kerah biru dan kerah putih, antara karyawan dan buruh, antar sektor dan daerah, kota dan desa, memperumit kesatuan identitas ini. Labor Market Flexibility membuatnya tambah runyam.
Kenapa kesatuan identitas ini penting, bahkan bisa lebih penting ketimbang persatuan antar serikat buruh?
Pertama, kepentingan buruh, kepentingan serikat, dan kepentingan pimpinan serikat buruh tidak selalu sama. Mereka bisa berjalan seiring, namun juga bisa bertentangan. Semakin serikat buruh bekerja secara demokratis dan berorientasi dari bawah ke atas, maka keselarasan kepentingan masih lebih memungkinkan dipelihara. Kesatuan kepentingan sebagai sesama buruh akan melampaui batasan organisasi dan bendera serikat, maupun perintah pimpinan serikat.
Kedua, kesatuan identitas memungkinkan kaum buruh berbagi kepentingan sebagai sesama buruh. Kaum buruh secara sistematis dipecah belah oleh sistem kerja, ideologi kelas penguasa dan kesulitan hidup sehari-hari akibat dampak neoliberalisme. Buruh “kerah putih” tidak merasa perlu turun ke jalan menuntut kenaikan upah seperti buruh “kerah biru”, namun akan turut kecipratan dampak kenaikan bila tuntutan itu berhasil. Padahal tuntutan itu akan lebih berpeluang berhasil jika buruh “kerah putih” pun ikut turut turun ke jalan.
Ketiga, hanya penyatuan identitas buruh yang membuka peluang lebih besar terhadap terbentuk dan meluasnya alat politik kelas pekerja, atau partai kelas pekerja. Politik kelas pekerja tidak melulu mesti direpresentasi melalui partai buruh. Indonesia pra Orde Baru memiliki sejarah yang kaya dengan partai-partai politik yang mengusung kepentingan kelas pekerja. Dan pada dasarnya, politik inilah yang dihancurkan, dimusuhi, dijadikan hantu oleh Orde Baru dan tentara-tentaranya sampai sekarang.
Penyatuan identitas mensyaratkan perjuangan yang keras dan kreatif dalam meningkatkan kesadaran sekaligus mengatasi masalah sehari-hari kelas pekerja. Dan masalah itu tak saja ada di pabrik dan istana negara, tetapi juga di rumah tangga, tempat ibadah dan forum-forum keagamaan, panggung layar kaca, dan bahan-bahan ajar di sekolah-sekolah. Karena 120 juta pekerja bukan menjadi pekerja karena tempat kerjanya, melainkan karena relasi eksploitasi dan ketergantungannya pada upah.
Apakah persatuan berbagai serikat buruh di dalam berbagai konfederasi serikat buruh saat ini sudah mencerminkan kesatuan identitas buruh? Dan apakah rencana pembentukan partai-partai buruh merupakan ekstraksi kepentingan politik buruh dari bawah? Bila tidak, maka partai politik buruh ataupun partai kelas pekerja yang akan atau sudah terbentuk, hanya akan menjadi ‘partainya aktivis’ atau ‘partainya para pimpinan serikat buruh’.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H