Kodrat. Apa yang dimaksud menjadi Ibu? Perempuan yang melahirkan? Yang memelihara anak walau tidak melahirkan? Yang menyusui anak? Yang melahirkan dari hasil perkawinan sah? Seorang transjender yang mengadopsi anak? Pasangan gay atau lesbian yang memiliki anak?
Menurut perspektif kodrat patriarkal, menjadi Ibu sederhana saja: melahirkan dan bersuami. Melahirkan tanpa suami itu cilaka, melahirkan lalu ditinggal suami berarti sengsara, tidak bisa melahirkan sama celakanya, tidak punya suami dan tidak bisa melahirkan sama sengsaranya. Sesudah celaka dan sengsara, ia juga mesti menyandang cap: mandul, janda, hingga perawan tua.
Masih ada lagi. Bila ia ‘beruntung’ bisa melahirkan, bersuami dan bekerja, jangan sampai lupa tugas-tugas rumah tangga. Bangunlah lebih pagi, tidur lebih malam, layani suami dengan sebaik-baiknya, tata diri secantik-cantiknya agar ia tidak mencari wanita idaman lain. Demikianlah perempuan hebat, idaman semua pria. Simbolnya pun ada: perempuan dengan banyak lengan memegang berbagai peralatan kerja publik dan domestik.
Demikianlah kodrat. Yang sunyi senyap hadapi pertanyaan: kapan kawin? Dengan siapa? Kapan punya anak? Seketika segepok ijazah, kedudukan dan pengalaman tak berkutik, diam seribu bahasa. Sekalipun jaman sudah meroket temui sahabat bumi lainnya, keresahan hidup mayoritas manusia masih saja sama: galau saat ditanya kapan kawin dan mau dengan siapa; sakit ketika tak bisa melahirkan anak, disundali ketika tak mau melahirkan anak.
Satu lagi aspek kodrat yang jarang dibahas: ‘glorifikasi rahim’ dan kemampuannya melahirkan anak. Menjadi Ibu adalah anugerah. Perempuan kuat karena kemampuannya melahirkan dan memelihara anak.
Keterpaksaan. Seorang remaja perempuan married by accident (MBA). Karena hamil ia harus menikah, baik kepada laki-laki yang membuatnya hamil atau pada siapapun laki-laki yang bersedia menanggung ‘beban malu’ keluarga. Bahkan hamil karena kejahatan perkosaan juga diperlakukan sama: kawin.
Seorang perempuan budak kulit hitam, terpaksa menyusui anak-anak tuannya. Karena si Tuan dan si Nyonya tak mau payudara ‘rusak’ karena si Nyonya mesti tetap tampil sintal dan menggairahkan di hadapan si Tuan. Di dalam hati perempuan budak kulit hitam itu tak sudi air susunya dihisap oleh anak penindasnya. Tetapi mata, tangan dan kaki mungil itu tidak perduli itu susu siapa, ia tak membenci dan menindas sejak kelahirannya.
Seorang ‘pembantu’ rumah tangga dan baby sitter menjaga anak-anak tuan-nyonya mereka. Makan belakangan setelah tuan-nyonya makan, mungkin memaksa diri rela untuk suka bermain-main dengan anak-anak majikannya, sementara anaknya sendiri entah dirawat bagaimana oleh mungkin Ibunya, bibi, nenek dan perempuan-perempuan kerabat yang bisa dimintai pertolongan.
Tentu saja tidak semua Ibu melulu menderita atau melulu baik budi, atau berada di antara keduanya. Di India perempuan-perempuan miskin dipekerjakan untuk hamil. Rahimnya semacam disewa untuk para klien yang membutuhkan.
III
Saya kenal dua orang kawan yang masing-masing kehilangan Ibu, sama-sama semacam membencinya. Yang pertama marah—mungkin juga dendam—karena si Ibu meninggalkan keluarga entah karena alasan apa. Yang kedua juga serupa, hanya saja ditambah hadirnya Ibu baru yang hampir sama jahatnya dengan Ibu Tiri di dalam filmAri Hanggara.