Kau tidak pernah seorang diri, jika saja kau memilih bergabung dengan barisan dan agenda-agenda perjuangan kami. Ini bukan soal tindakan patriotik dengan memberi selamat ulang tahun pada Prabowo sambil berangkulan, ini soal menggulung lengan kemeja dan bekerja untuk pembebasan, seperti katamu. Dan bekerja untuk politik pembebasan itu menghendaki keberanian dan prinsip, bukan ramah-tamah dalam selimut kedamaian palsu.
Kini, kau telah melesat menjadi roket, sementara kami masih berkumpul menyusun kerikil. Baiklah.
Kita
Kenapa mesti disyukuri perdamaian Jokowi dan Prabowo? Kenapa tiba-tiba kita jadi berbesar hati bahwa ini adalah wujud berdemokrasi? Sejak kapan Prabowo adalah bagian perjuangan demokrasi kita? Kenapa ketiadaan prinsip dan orientasi politik yang tegas disorak-sorai tidak sedikit orang? Mengapa ‘keterbatasan’ mereka mesti kita mengerti, bahkan kita rasionalisasi, sementara batas kesabaran kita tak coba kita mengerti dan rasionalisasi? Kenapa kita mesti memaklumi kesulitan Jokowi di dalam rezim yang tak pernah sukacita pada demokrasi dan keadilan sosial? Apa urusannya sehingga kita harus merasionalisasi bahkan membela kesulitannya?
Tugas kita adalah melawan hambatan demokrasi, bukan merasionalisasi kesulitan melawan hambatan itu. Seakan-akan kita adalah bagian inti lingkaran mereka, yang tahu persis kejiwaan Jokowi, sehingga kita menjadi jurubicara tanpa dimintanya.
Kita, sejak awal, bukan bagian mereka. Bila sekarang sebagian kita merasa jadi bagian mereka, maka sebagian kita akan menjadi masalah baru bagi agenda perubahan yang sedang kita perjuangkan.
Sejak kapan mengubah situasi dengan memperbaiki sistem menjadi penentu ketimbang mengubah situasi dengan melawan sistem? Sejak kapan ‘mengubah dari dalam’ menjadi pokok ketimbang ‘mengguncang dari luar’? Berapa generasi lagi harus menderita kekalahan karena mengulangi strategi yang tak pernah terbukti memenangkan pertarungan?
Ketika media mainstream tiba-tiba mendukung perubahan dan menampilkan sosok-sosok bintang yang dengan sumringah berjabat tangan sebagai solusinya, maka disaat itulah kita harus bercuriga bahwa perubahan itu akan terhambat. Ketika orang-orang yang pro perubahan tak lagi bicara agenda perjuangan tetapi posisi dan pembelaan, maka kita harus bersiap perubahan itu akan lebih melambat. Perjuangan untuk mengubah nasib dan hidup itu tidak mudah, karena eksploitasi dan penindasannya bersifat sistemik. Ia mensyaratkan konfrontasi dan prinsip, bukan pemakluman dan perdamaian. Di semua sejarah peradaban manusia, hanya dua pertama yang telah terbuktimemberdayakan, sementara dua berikutnya terbukti memperdayakan.
Hugo Chavez menjadi presiden Venezuela pada tahun 1998 karena ia memimpin pemberontakan dan dipenjara pada tahun 1992. Evo Morales menjadi presiden Bolivia karena ia berhasil dipaksa pergerakan rakyat melawan privatisasi agar melawan lebih keras. Jokowi bukan mereka. Jokowi bukan pula Jose Mujica, presiden Uruguay bekas gerilyawan pembebasan yang sangat sederhana, sekalipun harga sepatunya dulu tak lebih 150 ribu.
Jokowi bukan kita, walau ia tampil sederhana. Maka tugas kita bukan memakluminya, apalagi merasionalisasinya. Tugas kita melawan semua kecenderungan dan kemungkinan yang membuatnya semakin jauh dari harapan para pemilihnya. Percayalah, kekuasaan akan ramah pada perubahan ketika kekuatan kita membesar karena prinsip yang teguh, bukan karena kebaikan hati para bintang.
Sementara itu, para buruh sedang berpeluh mempersiapkan barisan diteriknya matahari perubahan iklim. Dalam harap, sekaligus kemarahan dan kecemasan, menuntut agar bisa mengkonsumsi ikan lebih dari 5 potong per bulan, air lebih dari Rp. 9.000-an per bulan, rekreasi lebih dari Rp. 1.900 per bulan, daging lebih dari 0,75 gram per bulan. Bila mereka mogok, aparat akan menghantam, syukur-syukur dengan pentungan kalau tidak popor senapan; pengguna jalan akan mendongkol karena memacetkan, tapi kemudian bersyukur jika upahnya ikut kecipratan naik; para twips ngedumel menuduh buruh nggak tau diuntung dan kurang bersyukur.