Bung, hari-hari ke depan ini adalah pertarungan. Boleh saja sambil bergembira, tetapi waktu tak memberi kita kemewahan dan jeda berlimpah untuk merasakannya. Persatuan Indonesia itu setelah Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketika kemanusiaan kita semua dirampas oleh kuasa orang-orang terkaya, jenderal-jenderal pengendali senjata, korporasi-korporasi terkaya di dunia, lembaga-lembaga keuangan global yang sedang mendikte ekonomi kita, maka persatuan Indonesia yang sebenarnya masih harus diperjuangkan. Kita tidak bisa bersatu dengan elit-elit koruptor, penjahat HAM, dan korporasi kriminal. Sudah terlalu lama rakyat berkorban dan sengsara untuk mereka.
Seperti yang Bung bilang: singsingkan lengan baju dan kerja, seperti kami yang tak sempat melepas gulungan kemeja, bahkan berpakaian layak, karena selalu bekerja. Kerjalah lebih keras Bung—kami juga. Buat garis pembatas bung, karena yang memilih Bung tak mau hidup dalam rukun dan harmoni bersama para koruptor dan penjahat HAM. Penjarakan mereka segera. Jika Bung belum berani, kami akan melawan lebih keras.
Kalau Bung tahu sedang berada di sarang buaya, maka Bung tak akan lebih banyak mendengarkan para buaya. Jalur-jalur pendengaran baru sudah dibuka oleh relawan-relawan Bung; jalan setapak baru sudah dibuka oleh rakyat yang berlawan di sekeliling Bung dan dunia. Kini Bung yang harus memilih: mendengar siapa dan berpijak di mana? Kami tak bisa, dan tidak akan, menunggu terlalu lama.
Salam dua kaki.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H