media sosial. Kedua hal tersebut seakan tak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat terutama remaja. Platform seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan lainnya menyediakan berbagai manfaat dari memperluas jangkauan sosial, informasi, hingga media mengekspresikan diri. Namun, penggunaan media sosial yang berlebihan akan berdampak negatif terhadap kehidupan maupun psikologis pengguna. Banyak penelitian mengungkap adanya keterkaitan penggunaan teknologi berlebih dengan peningkatan stress, kecemasan, hingga depresi. Karena mereka akan terbiasa mematok kehidupan berdasarkan standar media sosial. Berikut kita lampirkan bagaimana dampak teknologi terhadap kesehatan mental generasi muda.Â
Dewasa ini pertumbuhan arus teknologi begitu deras dan beriringan kuat dengan penggunaan1. FOMO (Fear of Missing Out)Â
FOMO atau ketakutan akan ketertinggalan seringkali dialami remaja yang aktif di media sosial. Remaja yang aktif di media sosial, akan terus menerus melihat berbagai macam kenikmatan maupun keberhasilan hidup orang lain. Hal ini dapat memicu perasaan cemas, gelisah, hampa dan depresi pada remaja, karena tidak bisa memenuhi standar kehidupan seperti yang mereka lihat di media sosial. Selain membuat remaja tidak merasa bersyukur atas kehidupan yang dimiliki, FOMO juga membuat mereka tidak cukup beruntung ketika tidak mempunyai pencapaian yang sama dengan orang lain. Mereka cenderung gencar bahkan memaksa keadaan dan kemampuan untuk bisa menjadi seperti orang lain.Â
2. Perbandingan SosialÂ
Karena ketakutan akan ketertinggalan tadi, media sosial juga memberi kesempatan bagi remaja untuk membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain. Meskipun kebanyakan orang berbagi sisi positif hidup mereka, hal ini tidak menjamin remaja lain untuk tidak merasa iri dan cemas pada kehidupan mereka yang tidak seberhasil itu. Perbandingan sosial ini dapat memengaruhi kesehatan mental bahkan penurunan rasa percaya diri untuk menjalani kehidupan mereka.Â
3. Standar Kecantikan dan Pencitraan DiriÂ
Media sosial sering menampilkan standar kecantikan yang tidak realistis. Banyak remaja termakan pada postingan ideal yang telah dimanipulasi melalui pengeditan ataupun hasil pemakaian suatu produk, sehingga memengaruhi pandangan mereka terhadap tubuh dan penampilan mereka sendiri. Fokus berlebihan pada kesempurnaan fisik ini dapat memicu rasa ketidakpuasan, menurunkan kepercayaan diri, dan bahkan menyebabkan gangguan pola makan pada beberapa remaja demi menjaga standar ideal menurut media sosial. Mereka merasa terbebani untuk memenuhi standar ideal tersebut, meskipun video maupun foto yang mereka lihat sebenarnya tidak mencerminkan realitas. Tidak jarang mereka juga mengalami kesalahan dalam memilih produk kecantikan, karena lebih memperhatikan pemakaian produk yang sedang viral daripada komposisi yang sesuai dengan kebutuhan diri sendiri.Â
4. Standar PercintaanÂ
Tak jarang, media sosial menampilkan hubungan yang ideal, seperti pasangan yang selalu bahagia, romantis, dan penuh perhatian. Padahal seringnya foto-foto atau video yang telah dikurasi tidak berjalan sebagaimana harusnya, hal tersebut dapat membentuk ekspektasi yang tidak realistis terhadap remaja lain, sehingga mereka akan merasa hubungannya kurang sempurna dibandingkan apa yang mereka lihat di media sosial. Terlihat juga pada saat mengalami konflik bersama pasangan, remaja yang aktif justru akan gencar menggulir video-video viral yang mungkin dapat memvalidasi perasaannya, dan itu cenderung membuat mereka larut dalam standar media sosial.Â
5. CyberbullyingÂ
Media sosial juga bisa menjadi wadah terjadinya cyberbullying atau perundungan daring, seperti mendapat ujaran kebencian melalui komenan sesama pengguna media sosial. Terlebih karena menyebarnya informasi di media sosial sangat cepat, bisa saja yang awalnya hanya satu yang menyerang menjadi beberapa pengguna ikut-ikutan menebar hate comment. Remaja yang menjadi korban dari perilaku ini dapat mengalami dampak psikologis yang signifikan, seperti meningkatnya kecemasan, ketakutan berlebih, depresi, serta menurunnya rasa percaya diri. Namun, pelaku perundungan beranggapan lebih bebas untuk bertindak tanpa khawatir identitas mereka terungkap.Â