Mohon tunggu...
Sri Hastuti
Sri Hastuti Mohon Tunggu... -

just a traveller and pilgrimage

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masih (Saja) Seputar Pilpres

12 Juli 2014   18:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepanjang mendapat hak pilih, saya nggak pernah absen ikut Pemilu kecuali Pemilu Legislatif kemarin. Pemilu sebelumnya saya tetap semangat nyoblos caleg meski saya nggak kenal sama mereka hehehe... Tahun ini absen Pemilu Legislatif bukan karena saya berniat golput, tapi kebetulan saya sedang merantau di Amerika dan agak telat nyari info tentang Pemilu, jadi pendaftaran udah tutup. Pun caleg yang dipilih juga dari Dapil Jakarta II, sementara domisili saya di Jogja. Jadi, maap maap aja kalo saya agak males ngikut Pemilu legislatif hehehe... Tapi sejauh ini saya tetap semangat ikut Pilpres. Jujur saja, lima tahun yang lalu saya milih SBY dengan pertimbangan supaya dia dapat melanjutkan programnya, biar nggak kecepeten ganti program. Bukan karena dia gagah dan berwibawa loh. Pas kan dengan slogannya 'Lanjutkan!'. Setelah kepilih, saya agak kecewa dengan orang-orang yang dipilihnya sebagai mentri. Tapi yah, itu kan masih awal. Saya berharap kekecewaan saya salah dan ternyata para mentri pilihannya dapat bekerja dengan baik. Beberapa memang bekerja dengan baik or agak baik karena saya nggak ngeh juga dengan kerjaan mereka. Tapi ada yang - maaf kata - payah dan itu sangat tidak menguntungkan bagi SBY, dan terutama rakyat banyak. Di akhir masa jabatannya, saya benar-benar prihatin dengan SBY dan kabinetnya hehe...

Dan Pilpres kali ini saya benar-benar nggak mau ketinggalan. Meski di perantauan, saya usahakan untuk ikut dan beruntung saya bisa datang ke TPS di Chicago, meski sebenarnya via pos pun bisa. Pilpres tahun ini memang rame walau saya tak bisa menyaksikan langsung bagaimana kampanye di tanah air. Tapi mengikuti serunya online media, terutama Facebook, membuat Pilpres tahun ini sangat berwarna. Bagaimana tidak, satu teman memposting salah satu berita dari situs online, teman lain pun tak mau kalah. Satu orang memposting kejelekan salah satu kandidat, yang lainnya juga membuat tandingan. Bahkan kemudian muncul gambar-gambar meme kedua kandidat. Tak jarang berita yang diposting itu bukanlah berita yang akurat atau berasal dari sumber terpercaya. Akibatnya banyak informasi yang simpang siur. Parahnya, ada yang memakai situasi ini untuk black campaign. Masyarakat kita sering kali mudah percaya pada suatu berita tanpa meneliti sumber dan kebenarannya terlebih dulu. Menganggap bahwa semua berita di situs online itu benar adanya.

Sekarang, ketika belum ada pengumuman resmi hasil perhitungan suara, kedua kandidat mengklaim bahwa dirinyalah yang menang. Lagi-lagi berita di media memeriahkan suasana, tapi kali ini ditambah dengan lembaga survei yang mengklaim bawah survei merekalah yang paling benar. Benar bahwa masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan kepemimpinan selama ini. Era reformasi yang diharapkan mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik, ternyata tak begitu adanya. Masyarakat memang menghendaki pemimpin yang bisa mengayomi, membuat perut kenyang, memberi kehidupan yang aman dan tenteram. Bukan sesuatu yang muluk sampai tak terjangkau.

Ketika Obama terpilih menjadi presiden USA, harapan itu tertumpu padanya setelah pemerintahan George W. Bush yang menuai banyak kritik. Tapi, kenyataannya Obama tak seperti yang diharapkan. Warga Amerika mengeluhkan kebijakan Obama Care yang membuat biaya kesehatan menjadi sangat mahal. Pernah suatu kali saya bersama seorang profesor berniat mengunjungi salah satu kawasan taman nasional. Kami lupa bahwa saat itu sedang ada shut down dan taman itu tutup untuk sementara. Ketika kami berkeliling di sekitar taman itu, seorang petugas dari jauh berjalan ke arah kami. Ia melambaikan tangannya untuk meminta kami meninggalkan tempat itu. Profesor saya pun merasa kesal dengan sikap petugas tersebut. Sebagai warga negara ia tidak dapat menikmati fasilitas publik dengan bebas, sementara fasilitas itu dibiayai oleh pajak yang dibayar warga. Kami pun terlibat percakapan tentang bagaimana pemerintahan Obama selama ini. "Saya agak terkejut ketika Obama terpilih menjadi presiden. Sepanjang sejarah Amerika, baru kali ini ada presiden berkulit hitam," kata saya. "Sebenarnya kami tidak peduli apakah presiden kami berkulit putih atau hitam. Dan tidak jadi soal bagi saya untuk memiliki presiden berkulit hitam. Hanya saja saya tidak mau kalau kebijakan presiden itu menyakiti hati rakyat seperti saat ini," jelas profesor saya.

Apa yang awalnya dianggap baik dan disambut dengan penuh harapan, pada akhirnya tidak selalu seperti yang diinginkan. Semoga saja tidak lagi terjadi di Indonesia. Semoga kerinduan masyarakat Indonesia untuk memiliki presiden yang memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat benar-benar dapat terwujud. Karena saya sendiri sering merasa miris melihat rakyat kecil berpeluh di jalanan untuk mencari sesuap nasi. Saya merasa muak dengan pejabat-pejabat kaya yang ternyata korup. Dan saya tidak tahan dengan keadilan yang sering kali muncul terbalik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun