[caption id="attachment_186550" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: Rotten Tomatoes"][/caption]
Here comes the new Spider-Man movie from Marc Webb. Kegembiraan saya begitu meluap-luap ketika tahu bahwa hari ini merupakan pemutaran perdana si manusia laba-laba di bioskop-bioskop seantero. Bukan karena ini kali pertama si manusia laba-laba tampil di layar lebar, melainkan tagline “The Untold Story” yang kelihatan sangat sangat menggoda pada poster yang ditampilkannya. Meski sebelumnya banyak orang yang agak pesimis dengan keputusan Sony Pictures untuk me-reboot waralaba yang baru berumur 10 tahun sejak Spider-Man (2002) versi Sam Raimi dirilis, saya tetap optimis bahwa The Amazing Spider-Man (TASM) mampu menunjukkan taring di balik tangan dingin Webb.
Ketika menyaksikan TASM, saya merasa sedikit deja vu. Sebab, Raimi sudah pernah mempraktikkan hal yang kira-kira serupa tentang perubahan sosok remaja slenge’an bernama Peter Parker menjadi Spider-Man, kecuali ‘nafas baru’ mengenai takdir Peter (Andrew Garfield) yang ternyata memang ditakdirkan untuk menjadi si pelontar jaring. TASM menjadi semakin mengasikkan ketika ia menawarkan sesuatu yang baru di beberapa bagian plotnya. Melalui kampanye yang cukup masif, Sony Pictures menonjolkan bahwa inilah ‘sisi lain’ si manusia laba-laba, sekaligus pelabuhan hati Peter yang baru, yakni Gwen Stacy (Emma Stone).
Webb selaku sutradara mencoba menghadirkan ‘ruang gelap’ bagi Peter — seperti yang Nolan lakukan pada Batman Begins (2005). Drama hubungan ayah dan anak, paman dan keponakan, hingga kisah cinta pertama Peter dan Gwen pun dihadirkan di satu jam pertama TASM. Hal tersebut bertujuan untuk menggali lebih dalam sisi manusiawi seorang Spider-Man. Sebagai Spider-Man, saya akui Andrew Garfield bermain cemerlang membawakan karakter masa remaja Peter, yang notabene seorang kutu buku, kerap di-bully teman-teman sebayanya, seringkali canggung jika berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya, hingga perawakannya yang kurus kering. Dan pemeran lain yang banyak membantu perkembangan karakter Peter, yaitu Emma Stone, Rhys Ifans, Denis Leary, Martin Sheen, dan Sally Field.
Penggunaan CGI yang jauh lebih maju merupakan salah satu keuntungan yang diperoleh TASM. Spider-Man tampil meyakinkan dengan efek-efek yang spektakuler. Misalnya, jaring yang terlihat lebih real dibanding versi Raimi, pengambilan gambar dari sudut pandang sang manusia laba-laba, dan lain sebagainya. Wujud Lizard — musuh Spider-Man kali ini — terlihat besar dan angker, meskipun saya rasa penggunaan CGI yang berlebihan terlihat di cukup banyak adegan. Sementara itu, soundtrack yang dihadirkan sepanjang TASM dirasa kurang ‘wah’. Ia justru terdengar biasa saja dan kurang memompa adrenalin di segilintir adegan yang ada. Untungnya, momen-momen drama tersampaikan dengan baik, hingga mampu membuat mata saya berkaca-kaca.
Kesimpulannya, TASM — meskipun menceritakan sebagian besar hal yang memang sudah saya ketahui — merupakan film si muka jaring yang paling layak dipuji. Karena ia tidak hanya menghadirkan skala Peter Parker sebagai pelontar jaring, tetapi juga skala manusia dari sosok superhero yang satu ini. Webb sudah melakukan yang ia mampu untuk meredefinisikan kisah permulaan Peter menjadi perayap dinding. Ia berhasil berimajinasi dengan baik dengan menghadirkan ‘the untold story’ yang berimbang dan tidak melenceng terlalu jauh dari versi komiknya. Well, TASM memang tidak se-’kelam’ Batman Begins. Namun, ia masih sanggup menghadirkan plot yang menyenangkan buat para penggemarnya dengan kembali ke layar lebar (sekali lagi).
* * * 1/2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H