Mohon tunggu...
Zefanya Nathaniel Tanzil
Zefanya Nathaniel Tanzil Mohon Tunggu... Lainnya - Murid

Saya senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komersialisme dalam Musik Modern

9 November 2024   01:13 Diperbarui: 9 November 2024   02:39 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perubahan ini juga terlihat dalam karir artis-artis populer. Misalnya, Taylor Swift. Sejak awal kariernya, Taylor Swift akrab dengan musik country-pop yang intim dan sangat pribadi. Namun, seiring berjalannya waktu dan dengan peluncuran albumnya 1989, dia beralih ke genre pop arus utama yang lebih mudah diakses secara komersial. Dengan ini, Swift mulai meraih kesuksesan komersial yang luar biasa. Meskipun banyak penggemarnya senang dengan perubahan ini, beberapa di antaranya merasa kehilangan esensi dari karya-karya awal yang lebih jujur dan sederhana.

Kenyataan ini suram bagi banyak musisi: menyeimbangkan kreativitas seseorang dengan liku-liku tuntutan pasar. Perjuangan untuk tetap relevan di dunia yang sangat kompetitif ini sering kali membuat banyak musisi mengikuti formula yang dijamin dapat menarik penonton, bahkan ketika hal itu memaksa mereka mengorbankan kedalaman seni mereka.

Musik Sebagai Komoditas dan Seni

Meskipun konsumerisme dalam musik memberikan musisi paparan luar biasa dan pendapatan lebih dari yang mungkin mereka terima sebaliknya, saya percaya sangat penting untuk menghindari pemikiran bahwa karya hanya sukses jika populer. Musik bukanlah komoditas yang bisa dibeli dan dijual. Musik harus kaya akan keanekaragaman- mainstream atau underground. Musisi juga membutuhkan keberanian untuk setia pada visi artistik mereka, walau itu berarti mengorbankan popularitas atau kesuksesan komersial.

Sebagai pendengar, kita juga bertanggung jawab untuk lebih memilih dan terbuka terhadap jenis musik yang beragam, bukan hanya bergantung pada playlist-playlist yang dikurasi oleh algoritma. Algoritma seringkali hanya memperkenalkan kita kepada musik yang serupa dengan apa yang sudah kita dengarkan sebelumnya dan mengabaikan karya-karya yang jauh lebih beragam dan mendalam.

Analogi Fast Food

Kita dapat membandingkan Konsumerisme dalam musik dengan cara kita makan makanan cepat saji. Makanan yang disajikan oleh restoran cepat saji adalah sesuatu yang lebih mudah diterima oleh kelompok besar orang. Ini mirip dengan musik tipe formula---lebih mudah dicerna oleh kebanyakan orang, sehingga lebih cepat diterima dan menjadi hits. Di sisi lain, konsumsi berlebihan produk-produk semacam itu mengurangi penghargaan yang mendalam terhadap kualitas yang jauh lebih baik dan proses kreatif yang lebih panjang dari suatu karya.

Musik komersial, misalnya, kesannya memang mampu memberi kepuasan sesaat. Namun, secara umum, kita bisa merindukan pengalaman yang lebih bermakna, yang hanya bisa kita temui pada karya-karya yang lebih kompleks dan jujur.

Musik yang Menggugah Hati

Bayangkan Anda sedang mendengarkan sebuah album dari seorang musisi independen. Di setiap lagu, Anda merasakan kedalaman emosi yang dituangkan melalui lirik puitis dan aransemen yang tidak hanya mengikuti tren saat itu, tetapi juga berani mengeksplorasi batasan musikal. Meskipun album ini mungkin tidak masuk dalam daftar lagu-lagu terpopuler di platform streaming, setiap detil dari karya tersebut terasa tulus, dan Anda merasa seperti sedang berbicara langsung dengan sang musisi. Sensasi ini lebih daripada sekadar hiburan instan; ini perjalanan emosional yang mendalam.

Karya semacam ini mungkin tidak selalu mendapatkan perhatian besar, tapi mereka meninggalkan bekas lebih kuat dalam hati pendengarnya. Itulah musik yang sejati, musik yang tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi untuk dirasakan dan dihargai dalam kedalaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun