Mohon tunggu...
Zeny Adhilah
Zeny Adhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang selalu bersemangat untuk belajar dan berkembang. Saya senang mengeksplorasi berbagai bidang ilmu dan keterampilan baru, terutama yang dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Saya percaya pada pentingnya kerja keras, tanggung jawab, dan kolaborasi untuk mencapai tujuan. Selain itu, saya juga menikmati kegiatan yang melibatkan kreativitas dan pengabdian kepada masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Janji Politik yang Terabaikan, Banyak Kampanye Tidak Memenuhi Ekspektasi

2 Desember 2024   20:29 Diperbarui: 2 Desember 2024   23:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali pemilu, baik pemilihan presiden, legislatif, atau kepala daerah, para calon biasanya menawarkan janji-janji kampanye sebagai cara untuk menarik dukungan dari pemilih. Janji-janji ini sering kali menjanjikan perubahan besar dan perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan. Namun, kenyataannya, banyak dari janji tersebut tidak terwujud setelah pemilu selesai. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa janji kampanye sering kali tidak memenuhi harapan masyarakat?

Janji kampanye adalah cara bagi calon pemimpin untuk menarik perhatian dan memenangkan dukungan dari pemilih. Janji-janji ini sering mencakup berbagai hal, seperti perbaikan jalan, peningkatan layanan kesehatan, atau pembukaan lapangan kerja. Fungsi utama dari janji ini adalah untuk menciptakan citra positif dan memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya. Namun, terkadang janji-janji ini dibuat lebih untuk meraih suara, tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut bisa benar-benar diwujudkan setelah terpilih.

Ada beberapa alasan mengapa banyak janji kampanye yang tidak terwujud. Salah satu masalah utamanya adalah janji yang dibuat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan anggaran dan sumber daya yang ada. Misalnya, ketika calon pemimpin berjanji untuk membangun banyak infrastruktur atau meningkatkan kesejahteraan sosial, janji tersebut bisa saja bertentangan dengan kondisi keuangan daerah atau negara yang terbatas. Setelah terpilih, pemerintah baru dihadapkan pada kenyataan bahwa anggaran yang tersedia tidak cukup untuk melaksanakan semua janji tersebut.

Selain itu, birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menghambat implementasi janji kampanye. Proses perencanaan dan pelaksanaan kebijakan memerlukan waktu dan sering kali terhambat oleh berbagai kepentingan politik, serta adanya kekurangan dalam hal sumber daya manusia yang kompeten untuk menjalankan program-program tersebut. Hal ini dapat menyebabkan janji yang dicanangkan dalam kampanye menjadi sangat sulit untuk diterapkan.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah dinamika politik yang terjadi setelah pemilu. Setelah terpilih, seorang pemimpin daerah atau negara sering kali harus berhadapan dengan berbagai kepentingan politik yang berbeda, baik dari partai politik yang mendukungnya maupun dari oposisi. Kepentingan politik yang bertentangan ini dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk melaksanakan janji-janji kampanye yang telah diberikan. Selain itu, dalam situasi politik yang tidak stabil, pemimpin cenderung fokus pada menjaga kekuasaan mereka, bukan pada realisasi janji-janji yang telah mereka buat.

 Janji kampanye yang sering kali berlandaskan pada strategi politik untuk memenangkan pemilu juga turut memengaruhi kualitas janji tersebut. Banyak janji yang disampaikan cenderung populis dan didorong oleh kebutuhan untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya, tanpa melihat aspek kepraktisan dalam pelaksanaannya. Akibatnya, setelah terpilih, janji-janji tersebut tidak lagi menjadi prioritas utama, atau bahkan tidak dapat dijalankan karena ketidakmampuan atau kurangnya dukungan.

Ketika janji kampanye tidak terwujud, dampaknya sangat besar terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan sistem politik secara umum. Rasa kecewa muncul ketika masyarakat tidak melihat perubahan yang dijanjikan, yang akhirnya dapat menyebabkan apatisme atau ketidakpedulian terhadap politik. Hal ini juga dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam pemilu berikutnya, karena mereka merasa bahwa suara mereka tidak lagi dihargai atau tidak membawa dampak nyata.

Selain itu, ketidakrealisasian janji juga bisa menimbulkan ketidakpuasan yang lebih luas, bahkan bisa berujung pada protes atau perlawanan sosial. Dalam kasus yang lebih parah, hal ini bisa menyebabkan pemimpin diganti lebih cepat melalui mekanisme pemilu yang lebih dinamis.

Agar janji kampanye tidak terabaikan begitu saja, calon pemimpin perlu membuat janji yang lebih realistis dan sesuai dengan kapasitas yang ada. Sebelum membuat janji besar, calon pemimpin sebaiknya mengevaluasi terlebih dahulu anggaran dan sumber daya yang tersedia. Janji yang disampaikan harus dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ada, tanpa melebih-lebihkan kemampuan yang ada.

Selain itu, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi program pemerintah juga penting. Dengan demikian, masyarakat dapat ikut serta dalam memantau dan memberi masukan tentang bagaimana janji-janji kampanye dilaksanakan. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah, serta memastikan bahwa janji yang dibuat benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun