Bismillah, Assalamualaikum Kompasianer.
Danau Toba, tiap kali melewatinya, aku nggak pernah bosan untuk menatapnya lama-lama, it's a part of Wonderful Indonesia.
Tahun 2008, aku benar-benar menikmati Danau Toba, mulai dari merasakan menyebrang ke Pulau Samosir, menginap di sana, berkeliling sambil bersepeda mengitari pedesaan menuju Pasar Tomok dan berakhir dengan wisata sejarah Kerajaan Batak. Pengalaman perjalanan itu nggak akan pernah aku lupakan, indah banget.
Saking berkesannya perjalanan tersebut, aku sampai berniat untuk tidak akan traveling jauh-jauh, tapi ingin menuntaskan untuk jelajah Sumatera lebih dulu, semoga terwujud ya, Aamiin.
Sekarang dengan berkembangnya zaman, generasi Z diindikasi sangat menyukai traveling, sehingga pengelola wisata berlomba-lomba memoles kawasan wisata ala gen Z, begitu juga pemerintah Indonesia berbenah di sektor pariwisata apalagi sektor ini pula yang cukup terdampak pandemi.
Salah satu fokus pemerintah dalam bidang pariwisata adalah bagaimana menjaga warisan alam yang diberikan Allah pada Indonesia, di antaranya Danau Toba.
Danau terbesar di Asia Tenggara ini pada tahun 2019 resmi masuk daftar UNESCO Global Geoparks Council, yang artinya Danau Toba ditetapkan sebagai Geological Park atau Taman Bumi.
Predikat Geopark ini membuat dunia akan mengawasi kita dalam menjaganya sehingga KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF mengadakan kegiatan berskala internasional bertajuk "International Conference Heritage of Toba: Natural and Cultural Diversity," dan oleh pemerintah, Danau Toba termasuk dalam 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
"International Conference Heritage of Toba: Natural and Cultural Diversity" resmi dibuka Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno secara virtual pada Rabu, 13 Oktober 2021.
Dalam pidato pembukaan, Menteri Sandiaga Uno menyampaikan tujuan dari acara ini yaitu bagian dari upaya kembangkan pariwisata di kawasan Danau Toba dan berharap potensi yang digali dari kawasan ini, khususnya bidang budaya dan alamnya dapat terus berlanjut sehingga bisa memberikan pengaruh positif bagi lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Menteri Sandiaga meski dari video konferensi tampak semangat dengan program yang ia dan tim jalankan, terbukti dari ajakan rumus bagi para industri kreatif dan pariwisata sebelum menutup video konferensinya agar tetap 3G, Gercep (gerak cepat), Geber (gerak bersama) dan Gaspol (gali semua potensi untuk bertahan).
Sedangkan rumus pelaksanaan peningkatan potensi DPSP dilakukan dengan rumus 3T, yaitu: Tepat sasaran, Tepat waktu, dan Tepat manfaat.
Oiya sebelumnya, di awal acara ada rangkaian kata sambutan dari beberapa pejabat terkait yang disampaikan melalui video konferensi.
Ada dari perwakilan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, perwakilan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, anggota DPR Sofyan Tan dan Djohar Arifin Husin, Kepala Dinas Pariwisata Sumut Zumry Sulthony serta Direktur UNESCO Jakarta Mohammed Djelid.
Konferensi yang diadakan di ruang terbuka TB Silalahi Center, Balige juga dihadiri dua Bupati dari 7 Bupati kawasan Danau Toba yang diundang yaitu Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu dan Bupati Karo Cory Sebayang.
Nah, sebelum sampai ke acara puncak, ada Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF, Rizki Handayani yang kembali menguatkan tujuan dan konsep dari perhelatan kelas internasional ini.
Tentunya, ujar Rizki, dengan mengedepankan kearifan lokal dan pelestarian lingkungan, berharap wisatawan datang ke Danau Toba tidak hanya untuk berwisata tapi juga berikan kontribusi dalam pemanfaatan lingkungan dan konservasi budaya.
Rizki juga menyampaikan bahwa KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF telah membuat travel pattern atau jalur wisata tematik, dimana konsep ini diperuntukkan bagi wisatawan yang datang ke Danau Toba hanya untuk sehari-dua hari saja.
Konferensi Internasional "Heritage of Toba" dilaksanakan dengan menerapkan CHSE atau Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability. Dan aku baru tahu konsep CHSE ini, bahkan diterapkan KEMENPAREKRAF/BAPAREKRAF sebagai syarat pelaku industri kreatif dan pariwisata dalam menjalankan usahanya di masa pandemi.
Dan kawasan wisata Danau Toba telah mendapatkan sertifikat CHSE, sehingga berikan keamanan dan kenyamanan saat berkegiatan di tengah pandemi.
Lalu, mengapa aku kok bisa menghadiri konferensi keren ini? Iya, karena aku daftar sebagai peserta online di platform MICE.
Konferensi Internasional "Heritage of Toba" dihadiri peserta secara hybrid yaitu offline sekitar 100 orang dan online juga 100 orang, serta dapat disaksikan secara live via kanal YouTube Kompas TV, Harian Kompas, dan Kemenparekraf.
Beruntungnya cuaca sangat mendukung sehingga meski digelar di ruang terbuka dengan durasi 5 jam, secara cuaca di Medan beberapa hari ini pun panas pol.
Kaldera Toba: Bukti Nyata Letusan Gunung Api Terbesar di Dunia hingga Konsep "Green Toba"
Ada satu pertanyaan yang sampai saat ini sulit dijelaskan pada anakku yaitu, harus darimana menceritakan keajaiban Danau Toba? Sisi kenyataannya atau sisi fabelnya. Namun, setelah mendengarkan para ahli di konferensi ini, aku jadi tahu bagaimana akan memulai cerita Danau Toba ini.
Adapun pembicara pertama dalam sesi pertama diskusi yakni Ahli Geologi Institut Teknologi Bandung, Indyo Pratomo. Danau Toba, jelas Indyo merupakan situs kawah raksasa yang telah dihuni secara turun temurun sejumlah lebih 100.000 jiwa.
Pada masa itu Kaldera Toba adalah erupsi yang sangat besar sehingga dikategorikan sebagai supervolcano, dan sebelum jadi danau, Toba mengalami evolusi setahap demi tahap, juga sampai pada munculnya Pulau Samosir ke permukaan. Ah ini keren banget sih menurut aku.
Di akhir penjelasannya, Indyo menutup kesimpulannya dengan joke Toba... or Not Toba, yang setelah aku sadari itu seharusnya, Tobe or Not Tobe. Haha.
Pemaparan selanjutnya lebih seru, dibawakan Ahli Ekowisata IPB Profesor Harini Muntasib dengan materi Optimalisasi Sektor Pariwisata Danau Toba melalui Pengembangan Wisata Berwawasan Lingkungan dibawakan.
Profesor Harini hadir secara virtual dan menyampaikan ide dan rekomendasi dengan cukup cerdas, branding Danau Toba kepada wisatawan tidak cukup menunjukkan 'ini loh Danau Toba, lihat, indahkan'Â tapi pertajam branding dengan informasi Danau Toba secara lengkap salah satunya informasi ini adalah gunung api raksasa yang letusannya paling dahsyat di dunia.
Bahkan, kalau bisa dengan konsep filming 4D sekaligus sehingga terbangun feel untuk sama-sama menjaga warisan dunia ini scara berkesadaran.
Video The Heartbeat of Toba, ujar Profesor Harini, sudah sangat bagus, jika bisa boleh ditambahkan dengan objek danau, objek geologi, dan objek biologi sehingga lebih informatif.
Selain itu tambahkan dengan elemen booklet atau barcode dan peta wisata Danau Toba. Kemudian, sisa-sisa letusan 74000 tahun lalu, rupanya masih ada berupa endapan-endapan berbentuk bukit atau lembah yang mirip kue lapis legit kata Indyo.
Berkah dari sebuah gunung merapi yang meletus, alam sekitarnya perlahan justru jadi tambah subur, terbukti Danau Toba punya potensi agrowisata. Ada perkebunan Kemenyan (Styrax paralleloneurum)Â atau Haminjon terletak di Tapanuli Selatan, Humbang Hasundutan, dan sekitarnya.
Lalu ada perkebunan Kopi, jenis arabika seperti Kopi Lintong, Kopi Sidikalang yang terkenal, Sigarar Utang, dan Mandailing.
Kemudian ada pohon dan budidaya tanaman lokal seperti Andaliman, Hariara, Andalehat, dll. Hutan Wisata Taman Eden di Desa Sionggang, Kecamatan Lumban Julu, Toba Samosir pun kaya akan anggrek hutan yang tumbuh dan berkembang.
Lalu bagaimana dengan makhluk biota dalam Danau Toba? Di dalamnya hidup banyak biota seperti plankton, hewan di dasar perairan, ikan endemik Danau Toba yang memiliki nama latin Neolissochilus thienemanni dan juga berbagai tumbuhan air.
Selanjutnya, ada Aktivis Lingkungan Annette Horschmann yang membahas Toba dari sisi lingkungan secara to the point. Ada 4 hal menurut Annete yang mengancam lingkungan Danau Toba yaitu peternakan ikan dan babi, pertanian, pariwisata, dan masyarakat sekitarnya.
Wah setuju sama Annette, dulu ada banyak tambak di pinggir Danau Toba, bahkan ada mitos melempar koin ke danau saat menyebrang yang ujung-ujungnya dikutip sama anak-anak Toba. Lalu aku juga ingat, betapa masih banyak sampah yang mengambang di sekitaran danau, duh miris.
Saat ini, ungkap Annette, kita sedang hadapi ecotourism versus over tourism. Hal ini dibuktikan Annette dari data yang ia kumpulkan dan menemukan artikel tentang keinginan seorang pejabat untuk datangkan 10 juta pengunjung tiap tahun, "jangan dong" tegas Annette, hal itu akan tidak baik untuk lingkungan Danau Toba, 500 ribu pengunjung saja pertahun sudah jauh lebih dari cukup.
Berikut solusi agar ecotourism bisa terlaksana di kawasan wisata Danau Toba yang dipaparkan Annette dengan straight to the point, yaitu memberikan pelatihan pada warga lokal untuk mengolah sampah organik dan anorganik agar tidak ada lagi limbah yang mengotori danau, pelatihan dilakukan di lapangan, beri warga contoh bagaimana hidup berkonsep green.
Lalu, terapkan ecotourism yang low impact yang meminimalisir terciptanya sampah, recycle bukan solusi, buatlah program green hotel dan beri apresiasi bagi hotel yang menerapkannya misal dengan keringanan pajak, kemudian adakan konsep alam beratraksi, perbaiki jalan ke gunung, tapi jangan semua diaspal.
Pohon-pohon besar di kawasan danau sebaiknya ditandai diberi nama dan informasi. Betapa Annette ingin konsep sustainable tourism ini sungguh-sungguh dijalankan, take it serious! tegas Annete.
Sebelum menutup pemaparannya yang membuat aku sendiri tertampar-tampar adalah "Jangan ngaku pecinta lingkungan, jika Anda masih konsumsi air minum dalam kemasan," JLEB!
Yuk, bisa yuk, kita berbenah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H