Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Momblogger Medan

a Wife | Blogger | Freelance Writer | Book Lover | Book Reviewer | member of FLP Sumut | FB : Nurul Fauziah | G+ : Nurul Fauziah |in : Nurul Fauziah | Twitter : @nufazee | IG : @nufaz3e |Blog: www.nufazee.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Wanita Pemahat Cinta

30 Mei 2012   11:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Syamsuddin Arif dalam situs hidayatullah.com menuliskan bahwa gerakan feminisme yang mencemooh perkawinan, mengalahkan aborsi dan lesbianism kini telah mulai melahirkan perlawanan. Banyak pendapat, feminisme tak jelas ‘juntrungannya’.

Empat puluh dua tahun silam, pada tahun 1970, sebuah acara meriah di Royal Albert Hall, London tiba-tiba menjadi huru hara. Sang pembawa acara, Bob Hope, disemproti tinta, dilempari bom tepung, tomat, dan telur busuk. Hadirin panic, dewan juri melarikan diri keluar, kontestan menangis, sementara gerombolan demonstran mengamuk sambil meneriakkan yel-yel: ‘we’re not beautiful, we’re not ugly. We are angry!’. Protes keras untuk kontes Miss World Beauty itu dilakukan sejumlah aktivis wanita yang tergabung dalam Women Liberation Movement. Bagi mereka, perhelatan itu tak ada bedanya dengan ‘pasar hewan’.

Gerakan feminisme di Barat tak dapat dipungkiri, merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat disana. Penyebab utamanya adalah pendangan sebelah mata terhadap perempuan (misogyny), bermacam-macam anggapan buruk yan dilekatkan padanya, serta aneka citra negatif yang menjelma dala tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum dan politik.

Sejak zaman dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kependudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang keladi kejatuhan Adam dari sorga. Akibatnya, peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah tangga saja. Mereka tidak dibenarkan dalam ‘urusan laki-laki’

Kaum feminis umumnya menganggap Mary Wollstonecraft sebagai nenek-moyang mereka. Lewat bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (London, 1972), ia mengancam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum.

Wanita tidak boleh lagi jadi burung dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah-tangga dan ‘penjara’ lainnya. Menurut Mary, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan faktor lingkungan

Gebrakan Wollstonecraft menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, ‘Femme: ose ětre! (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos alias ‘Colombine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandria Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.

Selain hak pendidikan dan politik, aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang Negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differention) segera dihapuskan. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan anak.

Agenda emansipasi selanjutnya ialah bagaimana membebaskan wanita dari ‘penjara kesadarannya’, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki. Hanya dengan cara ini, konon perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk eksploitasi dan subordinasi.

Sedangkan menurut Dr. Faisar Anandar Arfa dalam bukunya ‘Wanita dalam Konsep Islam Modernis’ menyatakan bahwa di Indonesia feminisme sudah dikenal sejak awal 1970-an terutama sejak tulisan-tulisan tentang feminisme muncul di jurnal maupun surat kabar. Namun aru di tahun 1900-an istilah feminisme dalam Islam dapat diterima terutama sejak terbitnya buku-buku feminisme yang ditulis Riffat Hasan, Fatima Menissi, Amina Wadud dan Ashgar Ali Engineer. Bersamaan dengan itu di kalangan intelektual Muslim mulai didengungkan perlunya ijtihad baru untuk menghasilkan penafsiran yang lebih adil dan sejajar soal perempuan seperti yang dilakukan Quraish Shihab, Nurcholis Majid dan lainnya.

Namun, pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminisme di Barat menjadi bumerang yang menyerang balik para pengikutnya.

Reaksi tajam terhadap radikalisasi feminis dating dari banyak kalangan. Mantan calon Presiden Amerika, Pet Robertson, pernah berkomentar bahwa feminis itu kerjanya Cuma ‘mengompori’ wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak mereka, mengamalkan perdukunan, menjadi lesbian dan meruntuhkan kapitalisme.

Penulis terkenal Susan Jane Gilman pun menangkap kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini, keluhnya menganggap feminisme tidak jelas, sementara kalangan lain menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman, kekanak-kanakan dan tidak relevan lagi.

Gerakan feminis juga disalahkan karena dianggap telah mengebiri laki-laki menyuburkan pergaulan sesame jenis, dan mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk yang gila karir, hidup dalam kesepian, balik ke rumah hanya untuk memberi makan kucing atau hewan peliharaan.

Diakui atau tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, dan Singapura kini tengah berupaya mengatasi apa yang mereka sebut sebagai krisis demografis.

Say No to Feminisme

Sederhananya feminisme adalah gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi keperempuanan. Paham feminisme bangkit untuk membela para wanita dari ketertindasan serta menuntut penyerataan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, kemudian malah berbalik awalnya feminisme bermaksud menaikkan harga diri tapi malah menjatuhkan (harga) diri sendiri.

Di Austria kesalahpahaman mengenai arti kata ‘Feminisme’, membuat bocah 14 tahun mau bertukar pasangan 3 kali dalam sehari. Ketika ditanya alasannya, kemudia ia menerangkan ‘Boys can do it, then why we can’t…’ saya merasa bangga bisa menaklukkan 3 orang cowok dalam sehari. Itukan biasa dilakukan pria, seenaknya berganti-ganti pasangan, kemudian menyakiti para gadis’.

Dibelahan Negara lainnya, seorang wanita menuntu persamaan toilet, karena wanita diyakini juga dapat (maaf) kencing berdiri seperti halnya pria. Bahkan ada juga gerakan ‘Feminisme bertelanjang dada dan gerakan pembakaran BH’.

Feminisme telah menutup mata hati mereka, sebodoh itukah? Padahal banyak dari wanita sekarang yang jauh lebih cerdas bersebab riwayat pendidikan tinggi yang dikecap.

Adakah solusi dari ini semua? Wanita yang kata Rasulullah adalah tiang negera, jika wanitanya rusak, maka tunggulah kehancuran Negara itu, maka tidak akan ada lagi generasi bermartabat yang membawa kebaikan dunia akhirat.

Sang Pemahat Cinta

Wanita kata Ki Hajar Dewantoro, janganlah tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa dan janganlah terikat rasa konservatif atau rasa sempit, tetapi cocokkanlah segala sesuatu dengan kodratnya.

Ada empat citra dasar jati diri wanita: 1. Wanita sebagai putri, 2. Wanita sebagai isteri, 3. Wanita sebagai ibu, 4. Wanita sebagai anggota masyarakat.

Wanita sebagai putri berarti wanita adalah berada dalam tanggungjawab semua anggota keluarga. Wanita sebagai istri merupakan partner kehidupan, bukan sekadar pelengkap atau objek penderita.

Wanita sebagai ibu adalah lembaga pendidikan tercanggih, karena dari tangan dan belaian seorang ibu akan lahir seorang sosok pribadi yang akan menjadi pemimpin bangsa dan dunia. Saat ini banyak generasi muda menjadi ‘pribadi yang rapuh dan gampang retak’ dikarenakan mereka kurang kasih sayang seorang ibu.

Wanita sebagai anggota masyarakat diharapkan bukan sekadar menjadi anggota masyarakat yang pasif, tetapi jadi anggota masyarakat yang aktif. Aktif dalam bermasyarakat bukan berarti meninggalkan tugas dan tanggungjawab di dalam rumah, karena rumah adalah satuan unit terkecil dari suatu sistem masyarakat. Malahan kearifan dan keutuhan keluarga yang dibina oleh seorang ibu merupakan sumbangan terbesar dalam masyarakat.

Akhirnya peranan seorang ibu dan wanita adalah peranan penentu dalam pembangunan masyarakat, sebagaimana pesan Sir Muhammad Iqbal—seorang penyair Pakistan—untuk wanita:

‘Wahai kaum wanita, watakmu yang suci adalah rahmah bagi kami. Engkaulah kekuatan dan benteng kehidupan. Cintamu akan memahat perkembangan kami, melukis pikiran kami, dan membentuk tingkah laku kami. Dengan kelembutanmu, engkau mendidik kami sehingga gunungpun akan kami daki dan padang pasir akan kami telusuri’

‘Wahai wanita pemelihara hukum syari’ah, dalam nafasmu terdapat kehidupan ajaran agama, maka hati-hatilah menghadapi perubahan zaman. Dekaplah anak-anakmu jangan sampai terjatuh, bagaikan anak burung pipit yang jatuh dari sangkarnya sebelum dia kuat untuk terbang dengan sayapnya’.

Selama ini tanpa disadari wanita telah menjadi objek pihak-pihak yang hanya mencari keuntungan semata. Contoh sederhananya saja iklan komersil yang selalu kita lihat di televisi, di Koran, majalah. Iklan telah mengajarkan wanita hanya dihargai sebatas kilau rambutnya, kemulusan wajahnya dan putih kulitnya. Hal tersebut juga diperkuat oleh Akbar S. Ahmed dalam buku “Post Modernism and Islam”. Menurutnya tekanan atas wanita dalam masyarakat (post modern) sungguh menakutkan, perkosaan, perusakan, kekejaman, semuanya tampak menjadi takdir wanita yang hidup di zaman post modern ini.

Padahal dalam kehidupan bermasyarakat dan sesuai dengan nilai-nilai agama, wanita bukanlah sebagai objek melainkan sebagai subjek yaitu pelaku pembangunan peradaban manusia. Islam mengakui persamaan antara wanita dan pria dari segi kemanusiaannya serta kedudukannya dalam proporsi yang sangat terhormat yang membedakannya hanyalah kadar ketakwaan kepada Allah SWT.

Wanita berperan sebagai subjek pelaku dan pelaksana pembangunan masyarakat bukan sebagai objek yang jelas-jelas akan merendahkan martabat wanita itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun