‘Maka Kami (Allah) kembalikan Musa ke dalam asuhan ibunya agar ibunya tenang dan tidak bersedih’ (QS. Al-Qasas:13)
Hari itu, 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta. Ternyata semangat sumpah pemuda yang baru dua bulan lalu digaungkan turut membangkitkan semangat sejumlah wanita untuk melakukan hal yang sama, yakni berkumpul untuk mempersatukan organisasi-organisasi wanita ke dalam satu wadah demi mencapai kesatuan gerak perjuangan untuk kemajuan wanita dalam mewujudkan Indonesia merdeka. Maka, pada Kongres Wanita ke 3, di Bandung tepatnya tanggal 22 Desember 1938, ditetapkan sebagai perayaan Nasional Hari Ibu, namun sayangnya bukan hari libur.
Terlepas dari sejarah Hari Ibu yang sebenarnya tidak ‘nyambung’dengan ritual perayaan Hari Ibu yang lazimnya kita lakukan di hari tersebut semisal memanjakan ibu dan memberikan hadiah, maka seperti apa seharusnya Ibu di zaman serba canggih ini?
Seorang Ibu dalam Syair-nya Hafizh Ibrahim adalah sekolah apabila engkau persiapkan dengan baik berarti engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang harum. Lalu ketika seorang Napoleon Bonaparte ditanya, ‘Benteng manakah di Prancis yang paling kuat?’. Napoleon menjawab, ‘Para Ibu yang baik’.
Sungguh, menjadi Ibu berarti ber-Karier Dalam Rumah Tangga, menciptakan Ketenangan Dalam Rumah Tangga, menjadi madrasah agung atas berbagai tanya dengan bahasa paling akrab, pemilik dekapan paling hangat mengalahkan musim hangat sekalipun, pemilik belaian paling menentramkan disaat galau dan gelisah menyapa. Ibu, dermaga pengaduan paling luas disaat anaknya merasa teraniaya.
Ibu, ya,seiring perjalanan waktu, pergeseran zaman, banyak wanita enggan menjadi kata itu, dan sebaliknya kata itu pun enggan menjadi mereka.
Tak banyak Ibu yang mampu melintasi zaman dengan baik, justru malah terseret arus perkembangan zaman tersebut. Ibu saat ini punya kawan akrab jejaring sosial yang luarbiasa berkembang, sehingga lebih penting update status daripada menemani anak bermain, Ibu juga akrab dengan televis dan beragam acara gosip serta sinetron, sehingga sanggup berlama-lama di depan televisi tanpa rasa bersalah, Ibu hari ini terlalu sibuk dan begitu kerja keras membantu ayah mencari nafkah demi tuntutan ekonomi yang begitu mencekik leher sehingga tidak sempat menyimak bacaan Al-Qur’an anak-anak. Ibu zaman ini, lebih percaya pengasuhnya daripada kemampuannya mengasuh buah hatinya sendiri, lebih yakin kecanggihan susu formula dengan segala kemahalannya daripada menyewa ibu susu-an, demi memberikan kualitas susu yang paling canggih dari Allah SWT.
Jika hendak belajar bagaimana agar profesi Ibu menjadikan karier yang membuka pintu surga kelak, mungkin layak belajar dari ibu yang kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Qasas ayat 13. Dibalik pribadi dan kebesaran Nabi Musa a.s terdapat kasih sayang seorang ibu yang tetap mengasuh dan menyusui dan mendidik masa kecil, walaupun ia berada di bawah intaian Raja Fir’aun yang zalim. Musa kecil berada dalam kemewahan istana Fir’aun sedangkan sang ibu kandung menyamar menjadi pengasuh sewaan. Seberat apapun cobaan, sang ibu berupaya tetap menjadikan dirinya sebenar-benarnya ibu bagi si jantung hati. Kasih sayang dan belaian tetap diberikan walau sesaat dalam sehari.
Profesi Ibu Rumah Tangga di Indonesia
Pada KTP, setidaknya sampai di titik ini saya percaya bahwa Negara mengakui istilah Ibu Rumah Tangga sebagai pekerjaan atau profesi,tapi apakah hanya sebatas pengakuan?
Betapa iri-nya wahai Ibu dengan kebijakan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khatab, ibu-ibu yang hidup di zamannya terjamin secara ekonomi sehingga, tugas ibu masa itu, murni untuk merawat anak, mendidik anak, tanpa khawatir tentang biaya hidup. Umar memberikan tunjangan pada seluruh bayi yang dilahirkan sebesar 100 dirham setahun ditambah dua jarib jagung sebulan. Tunjangan makin bertambah seiring bertambahnya usia sang anak. Belum lagi ditambah dengan tunjangan ekstra yang akan diberikan pada para wali/pelindung anak termasuk istri dan para ibu yang menyusui, yakni pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Apakah kebijakan Umar tersebut hanya khayalan tingkat tinggi yang bahkan tidak mungkin ada Negara yang mau menerapkan kebijakan tersebut?
Sayangnya kebijakan tersebut di terapkan di negara yang bukan mayoritas muslim, justru diterapkan di Australia. Profesi seorang ibu di negara tersebut, hak-haknya diakui negara, bila melahirkan akan diberikan uang susu, uang saku sebagai upah pada ibu yang menjadi ibu rumah tangga, punya kesempatan menyicil rumah, dan kesempatan belajar dengan biaya pemerintah. Sungguh negara idaman para Ibu Rumah Tangga.
Selain itu, untuk urusan perlindungan terhadap perempuan korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) pun Negara Australia punya sistem yang serius. Sang perempuan diberikan perlindungan, rumahtinggal, perawatan rumah sakit sampai sembuh dan juga konseling rumah tangga.
Yah, walau seringkali masalah mendera, bahkan sampai meremas jantung, namun dengan ketegaran, kesabaran dan jaminan surga di telapak kaki ibu, semoga mampu menjadikan ibu yang mampu ber-Karier Dalam Rumah Tangga, membawa Kesakinahan Dalam Rumah Tangga.
Menjadi wanita karier kadangkala menjadi tuntutan dunia, tapi menjadi ibu yang shalehah adalah lebih utama dan menjadi tuntutan dunia akhirat. Wallahu’alam bis Showaab.
Selamat Hari Ibu. Mencintaimu, Mak, seperti aku mencintai surga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H