"Bismillahirrohmanirrohim... Allahumma Akhrijna Min Dzulumaatil wahmi wa Akrimnaa min Dzulumaatil Fahmi, waftah 'alainaaa birohmatika.. Ya Arhamarroohimin..."
Lantunan doa belajar dari suara-suara nyaring yang setiap pagi terdengar dari loteng belakang rumahku, beberapa hari ini mendadak terhenti. Bukan karena proses Ujian Kenaikan Kelas (UKK) telah berakhir dan anak-anak SD Leuwinanggung, Depok sudah memulai liburannya, tapi karena anak-anak terpaksa tak bisa lagi membaca doa belajarnya di sekolah tercinta.
Awalnya, aku tak menghiraukan hal tersebut. Melewati sekolah tersebut ketika ingin berangkat kerja, halaman luar SD nampak begitu ramai. "Ah, mungkin ada pertemuan wali murid," pikirku. Agak mengherankan karena semua siswa juga turut berada di luar sekolah.Namun hari itu, aku tak begitu peduli.
Hari ini, rombongan siswa siswi bergerak menuju lapangan bola di pojok kampungku. Berbondong-bondong, dengan diiringi canda tawa khas mereka, jalanan depan rumahku terasa lebih ramai. Aku masih tersenyum. Namun senyumku menghilang tatkala Ibu memberitahu bahwa kemarin terjadi aksi oleh siswa dan orangtua mereka.
Aku mengernyit. Sengketa lahan mungkin penyebabnya. Aku memang tak tahu pasti duduk permasalahannya. Warga kampungku memang belakangan disibukkan dengan isu penggusuran guna pembangunan jalan. Entah alternatif yang menghubungkan ke Cikeas, atau proyek jalan tol Cijago (Cisalak Jagorawi). Aku tak tahu pasti.
Rumahku berada di Kampung kecil Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok. Beberapa lahan yang letaknya di depan jalan sudah mulai digusur dan dirapikan. Termasuk lahan yang terkena dampak adalah halaman SD Leuwinanggung.
Beberapa bulan lalu, pernah terpasang sebuah banner dengan tulisan, "SEKOLAH INI DITUTUP SAMPAI WAKTU YANG TIDAK DITENTUKAN." Kalimat kasar dan tak berpendidikan. Bagaimana bisa Sekolah ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan? Aku meradang kala itu. Belum sempat aku cari tahu sebab-musababnya, beberapa hari kemudian, tulisan itu hilang entah kemana. Anak-anak pun kembali ke aktivitasnya dan sekolah kembali dibuka.
Namun pagi ini, aku lagi-lagi terkejut. Melintasi sekolah yang kini sepi dengan pagarnya terlilit rangkaian rantai dengan gembok terkunci. Beberapa tulisan tangan di atas karton berwarna menempel di pagar. "Pendidikan itu Harga Mati!" kata tulisan di karton kuning. Aku mendangak melihat tumpukan bangku sekolah ditengah lapangan upacara. Subhanallah, ini adalah sisa aksi anak-anak kemarin ternyata.
Inikah yang menyebabkan mereka harus pindah ke lapangan? Siapa yang mau bertanggungjawab saat ini?
Kejadian ini hanya satu dari sekian peristiwa sekolah diblokir karena sengketa lahan. Siapa yang punya tanah negeri ini? Miris, ketika melihat mereka bersedih karena kehilangan tempat belajar. Sedih, membayangkan teriakan-teriakan kecil saat menuntut hak mereka. Ngeri, membayangkan mereka mulai mengerti arti sebuah pemberontakan. Takut, melihat mereka kehilangan mimpi dan harapan.
Mereka anak-anak kampung ku yang juga punya cita-cita. Mereka adik-adikku yang juga ingin berjuang demi kehidupan yang lebih baik. Mereka anak-anak bangsa yang menjadi tumpuan dan aset berharga negeri ini. Mengapa potret pendidikan di negeriku sering diwarnai masalah ini? Adik-adikku tak bisa jadi korban terus menerus. Tolong, selamatkan mimpi mereka!