Hari itu, kau pergi tanpa berpamitan. Sama sekali. Kau melangkah dengan mulut bungkam. Dan sejak kepergianmu, aku tak pernah lagi melihat rangkaian embun yang seperti kelambu basah setiap kali aku membuka jendela kamar ketika datang pagi. Semua tampak gelap dan berkabut. Pepohonan saja ikut terbatuk saat pertama kali kabut menggantikan posisi embun menemani pagi.
Aku mendengar rumpunan pohon talas berbisik riuh. Mengenai kabar kepergian embun pagi itu. Aku bertanya pada mereka, apa sebab yang membuat embun enggan menemani pagi hari ini. Lalu mereka menjawab; “Kami tak tau. Kami hanya mendengar embun berkata ‘Aku hanya ingin menyelamatkan diriku dari rasa pengkhianatan’ begitu katanya.” Kemudian mereka kembali berbisik dengan kabar yang lain lagi.
Jika embun pergi karna ingin menyelamatkan dirinya dari rasa pengkhianatan, lalu tindakannya mengirim rindu yang sepi dan berkabut untuk pagi juga bentuk pengkhianatan yang nyata.
Aku jadi ingat, pertengkaran kita sebelum kau pergi.
“Dari pada memihak manusia, aku lebih baik memihak kebenaran.” Katamu tanpa mau memandangku lagi.
Kau tau? Aku adalah kebenaran itu. aku adalah kebenaran milikmu sendiri. Sama seperti embun, adalah kebenaran yang harus dimiliki pagi.
Sekarang, aku bersama pagi. Merawat rindu berbedung sepi, di bawah kabut. Menunggumu. Pastikan bahwa kau kembali bersama embun, untuk pagi mengasuh rindu bersama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H