Ketika warna kuning kemerah-merahan mulai berpamitan pulang. Malam itu, adalah sabtu malam yang lembab. Selembab kelopak mataku saat ku tahu kau tak lagi datang. Ada bau air mata, tak jauh dari tempatku menyulam waktu. Ku putuskan untuk menemukannya.
Aku melihatnya duduk seperti mengapung. Di atas bentangan permadani yang di rajut dari benang-benang penantian di tengah danau yang terbuat dari air mata. Ia menatapku. Sangat tajam, seperti garis kilat yang menyayat. Dan ia bergerak semakin mendekat.
“Siapa kau?” Tanyaku. Ia tersenyum sinis. Dari senyumannya, aku ingat. Aku sering melihatnya di cermin. Ia yang memeluk rindu. Kemudian memelukku bersama rindu.
“Aku adalah dirimu.” Bisiknya, yang telah menyatu menjadi aku. Lalu rindu dalam pelukanku berubah menjadi butiran air yang di sebut hujan. Kemudian aku terduduk di atas permadani yang terapung pada danau air mata. Sambil memeluk hujan, di bawah guyuran rindu. Menantimu.
Sudut kota yang berkabut, 16 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H