Ketertarikan pada Jean Paul Sartre: Inspirasi Kebebasan yang Mendalam
Salah satu alasan terbesar kenapa saya tertarik dengan pemikiran Jean Paul Sartre adalah karena konsep kebebasannya yang begitu radikal dan mendalam. Sartre memperkenalkan gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi"--artinya, kita hadir di dunia ini tanpa tujuan atau makna yang sudah ditentukan dari awal. Justru kita sendiri yang bertanggung jawab untuk menciptakan makna dan tujuan hidup kita. Bagi saya, pemikiran ini terasa begitu menyegarkan dan membebaskan.
Sartre mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya bebas, dan setiap pilihan yang kita buat adalah bagian dari proses untuk "menjadi" diri kita yang sejati. Kebebasan ini bukan Cuma soal hak, tapi juga soal tanggung jawab. Setiap tindakan yang kita pilih punya konsekuensi, dan kita sendiri yang harus menanggungnya. Ini membuat saya merasa kuat dan mandiri karena tidak ada yang menentukan hidup saya selain saya sendiri. Sartre menyebutnya sebagai "condemned to be free--dikutuk untuk bebas--dan bagi saya, itu adalah kutukan yang indah.
Selain itu, pemikiran Sartre ini juga terasa sangat personal dan relevan. Dia mengajak kita untuk hidup dengan autentik, dengan jujur pada diri sendiri dan berani menentukan pilihan, tanpa perlu takut terhadap penilaian atau harapan orang lain. Saya merasa bahwa pandangan Sartre tentang kehidupan ini sesuai dengan idealisme saya akan kebebasan, di mana manusia seharusnya bebas untuk menjadi apa pun yang dia inginkan, selama ia siap bertanggung jawab. Sartre bukan hanya mengajarkan kebebasan, tapi juga memupuk keberanian dalam menjalani hidup dengan cara kita sendiri.
Kegersangan Ruhani: Titik Balik Menuju Tasawuf
Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai merasakan ada sesuatu yang kurang dalam hidup saya. Meskipun kebebasan yang saya anut memberi ruang luas bagi diri saya untuk berekspresi dan mengambil keputusan, ada perasaan hampa yang perlahan muncul. Mungkin karena saya terlalu fokus pada kebebasan akal dan logika, sementara dimensi batiniah, atau qolbu, justru semakin saya abaikan. Kehidupan yang penuh dengan kebebasan ini, meski terasa menyenangkan di awal, lama-lama membuat saya merasa kering secara ruhani.
Kebebasan yang saya kejar dengan segala daya pikir ternyata tidak cukup untuk mengisi ruang kosong dalam hati saya. Saya mulai merasa ada yang kurang dari hidup yang hanya berkutat pada logika dan rasionalitas. Meskipun saya masih percaya pada kekuatan pilihan dan free will, saya merasakan kegersangan spiritual yang tidak bisa diatasi hanya dengan logika atau kebebasan duniawi.
Di sinilah titik balik saya. Kegersangan ini akhirnya mengantarkan saya pada pemikiran-pemikiran tasawuf, sebuah jalan spiritual yang menawarkan kedalaman makna hidup dan kedamaian batin. Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Atho'illah mulai menarik perhatian saya. Mereka berbicara tentang kebebasan sejati, tetapi kebebasan yang lebih dalam, yang tidak hanya terikat pada tindakan atau pilihan fisik, melainkan kebebasan dari dorongan ego dan hawa nafsu. Tasawuf mengajarkan bahwa kebebasan sejati adalah ketika kita bisa menenangkan hati dan melepaskan diri dari keinginan-keinginan duniawi yang justru sering kali membuat kita jauh dari kedamaian.
Dari pemikiran mereka, saya belajar bahwa kebebasan sejati tidak hanya soal berbuat apa yang kita inginkan, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa membebaskan hati dari kegelisahan dan keinginan-keinginan ego yang tidak pernah berakhir. Pada akhirnya, saya menemukan bahwa kebebasan yang lebih dalam ada pada kedamaian batin, sesuatu yang tidak saya temukan dalam kebebasan yang dulu saya agungkan.
Menemukan Kebebasan Sejati: Inspirasi dari Al-Ghazali dan Ibnu Atho'illah
Akhirnya, saya semakin tertarik pada pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Atho'illah. Mereka memberikan pandangan yang berbeda tentang kebebasan--bukan lagi kebebasan yang hanya berkutat pada tindakan dan pilihan, tapi kebebasan yang menyentuh hati dan jiwa. Dulu, saya sangat bangga dengan konsep kebebasan saya, merasa bahwa hidup ini adalah tentang bebas bertindak dan berbuat, asal bertanggung jawab. Namun, setelah membaca pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Atho'illah, pemahaman saya tentang kebebasan mengalami perubahan yang mendalam.