Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buang, Togi, dan Ali: Cerita dari Pinggir Sungai

26 April 2024   10:17 Diperbarui: 28 April 2024   07:34 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ali, di sisi lain, meskipun dikenal karena kebiasaannya yang jarang mandi, memiliki kecerdasan yang tajam dan pemahaman mendalam tentang teks-teks agama, seringkali memberikan perspektif yang berbeda dalam diskusi mereka.

Seiring berjalannya waktu, ketiganya menjadi trio yang tak terpisahkan, masing-masing dengan keunikan mereka sendiri. Namun, suatu hari, suasana hati Togi berubah. Dalam salah satu sore yang biasanya diisi dengan tawa dan lelucon ringan, Togi terlihat gusar dan murung.

"Togi, ada apa denganmu? Kamu terlihat seperti ikan yang baru saja kehilangan air," canda Buang, mencoba meringankan suasana.

Togi menghela napas, matanya menatap kosong ke arah sungai tempat mereka sering memancing. "Aku... aku berpikir untuk keluar dari pesantren. Tetanggaku, Pak Darmo, menawariku pekerjaan di kapalnya. Mungkin itu jalan terbaik untukku, mendapatkan uang dan mungkin bisa lebih dekat untuk mencapai mimpiku menjadi tentara."

Buang, yang sedang mempersiapkan pancingannya, berhenti dan menatap Togi dengan serius. "Togi, kau serius? Kau akan meninggalkan semua yang telah kita pelajari bersama? Kau akan membuang semua mimpi dan usaha kita seperti membuang umpan yang buruk?"

Suasana menjadi tegang, Ali yang biasanya hanya tersenyum dan mendengarkan, kali ini turut serta. "Togi, kau tahu bukan, kadang kapal itu bisa tenggelam. Pesantren ini adalah kapal yang kuat, kita semua di dalamnya, bersama. Apakah kau yakin ingin melompat?"

Togi, yang terbiasa dengan semangat dan tawa, kini tampak berjuang dengan emosi. "Aku... aku tidak yakin, tapi rasanya ini kesempatan yang baik untukku."

Buang, yang biasanya penuh canda, kali ini berbicara dengan nada serius yang jarang terdengar. "Togi, kadang kita harus mengambil resiko, tapi jangan lupa, mimpi tentara itu bukan hanya tentang kekuatan dan keberanian, tapi juga tentang strategi dan kesabaran. Pendidikan kita di sini, itulah latihan mentalmu. Jangan buang peluru sebelum sasaran benar-benar jelas."

Togi menundukkan kepala, merenung. Kata-kata Buang terngiang dalam pikirannya, mengingatkan pada alasan mengapa ia memilih pesantren di awal. Malam itu, Togi memutuskan untuk tetap di pesantren, menyadari bahwa pendidikan agama yang ia terima adalah bagian dari fondasi yang kuat untuk menjadi tentara yang baik, bukan hanya di medan perang tetapi juga dalam kehidupan.

Hari-hari berikutnya, Togi kembali ke rutinitasnya dengan semangat baru, didukung penuh oleh Buang dan Ali. Ketiganya kembali ke pinggir sungai, tempat mereka banyak belajar satu sama lain---tentang sabar, tentang keberanian, dan tentang pentingnya membangun mimpi dengan fondasi yang kuat.

Buang, dengan cara yang hanya dia bisa, mengingatkan Togi bahwa di setiap joran, ada benang yang mengikat mereka: persahabatan, pendidikan, dan mimpi yang terus berkembang, seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir menuju lautan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun