Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Santri Harus Kaya?

25 April 2024   23:41 Diperbarui: 25 April 2024   23:47 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, dalam sebuah diskusi yang hangat dengan seorang ustadz, saya menyampaikan sebuah gagasan yang mungkin terdengar kontroversial di telinga sebagian orang. Saya berpendapat bahwa menjadi santri bukan hanya tentang memperdalam ilmu agama saja; lebih dari itu, santri juga harus meraih kemandirian finansial dan berkontribusi secara lebih luas di masyarakat. Saya menyatakan bahwa idealnya, santri tidak hanya menjadi ustadz, tetapi juga pelaku bisnis, politikus, dan profesional di berbagai bidang, lebih bagus lagi jika jadi crazyrich. 

Alasannya jelas: di zaman ini, dimana pengaruh material sangat kuat, mereka yang memiliki kekayaan sering kali lebih didengarkan dan dihargai. Bayangkan betapa berdampaknya jika seorang santri tidak hanya piawai dalam ilmu agama, tetapi juga sukses secara finansial dan menggunakan kekayaannya untuk kesejahteraan umum, membangun desa, mendirikan lembaga pendidikan, dan membantu masyarakat yang membutuhkan.

Ustadz yang saya ajak bicara tersebut memiliki pandangan berbeda. Menurut beliau, seorang santri yang sejati akan mendapatkan rezeki secara otomatis jika ia fokus pada akhirat. Beliau berpendapat bahwa dunia akan datang dengan sendirinya bagi mereka yang mengejar kehidupan setelah kematian. Tapi, saya melihat ada kekeliruan dalam pemikiran ini. Banyak santri yang keluar dari pesantren dengan kemampuan akademis yang baik namun tidak memiliki keterampilan untuk 'survive' atau membaca peluang usaha di dunia luar.

Kesalahpahaman ini juga berpotensi merusak citra lulusan pesantren di mata masyarakat, membuat banyak orang tua ragu untuk memondokkan anak-anak mereka. Padahal, tidak sedikit santri yang berhasil dan bahkan mencapai posisi penting, seperti KH. Ma'ruf Amin, Wakil Presiden Indonesia, yang juga berasal dari lingkungan pesantren. Tak hanya itu, ada juga sosok Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA. Beliau bukan hanya tokoh agama. Tetapi juga seorang akademisi dan juga miliarder.  

Saya percaya, santri harus berupaya menjadi kaya bukan untuk keserakahan, tetapi untuk pemberdayaan. Dengan kekayaan, seorang tokoh agama atau masyarakat dapat melakukan lebih banyak daripada sekadar memberikan nasihat; ia bisa memberikan solusi konkret. Misalnya, jika ada jamaah yang tidak mampu membayar SPP anaknya, seorang santri yang kaya bisa memberikan beasiswa atau bahkan modal usaha. Ini adalah aplikasi nyata dari prinsip-prinsip Islam yang mengajarkan kepedulian dan bantuan nyata kepada sesama. Bukan cuma dikasi amalan doa dan disuruh sabar. 

Orang yang masih berurusan dengan perutnya, akan susah untuk menerima nasehat dan disuruh sabar. Apa lagi jika harus dibebankan dengan wirid hingga ribuan kali dalam semalam. 

Ketika santri berpendidikan tinggi dan juga kaya, mereka memiliki leverage untuk membuat perubahan sosial yang signifikan. Mereka tidak hanya akan dipandang sebagai pemimpin rohani, tetapi juga sebagai pemimpin sosial yang mampu mengangkat harkat dan martabat umat. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya memperkaya individu secara material tetapi juga spiritual dan sosial.

Di akhir, bukan sekadar doa yang kita butuhkan untuk mengatasi masalah kehidupan, tapi tindakan nyata yang bisa mengubah kondisi umat. Santri yang kaya dan berilmu bukan hanya akan menjadi simbol keberhasilan, tapi juga beacon of hope---mercusuar harapan yang menunjukkan bahwa kebaikan dan kemakmuran dapat berjalan bersamaan dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun