Mohon tunggu...
Candra Aji
Candra Aji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup ini mudah, semudah 2 pilihannya: baik atau lebih baik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Satya II: Monalisa Pasti Selalu Tersenyum

28 Agustus 2012   12:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:13 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Gambar itu menggambarkan sejuta makna melebihi ribuan tulisan”

Satya : “Kalau Gambar sebagus itu, kenapa semua kitab agama di dunia tidak ada gambarnya?”

(Penyebab nilai E di pelajaran melukis Satya)

Awal perjalanan adalah awal dari lembaran catatan dibuat. Desa Satya Desa Terpencil, kendaraan hanya lewat tiga hari sekali itupun dengan ongkos yang mahal mengingat jalannya yang berbukit-bukit. Satya memilih untuk berjalan kaki, sekalian Satya menjenguk saudaranya yang ada di kampung sebelah. 10tahun tidak bertemu, tentu Satya tidak ingat wajahnya. “Tak apa, saudara tetap saudara..pasti ada kemiripan, mungkin dihidungnya di rambutnya, atau dimanalah terserah”, tegas Satya dalam hati. Satya menyusuri jalan setapak pegunungan yang hanya satu-satunya. Memang Desa Satya terletak diatas bukit, dan Kampung terdekat jaraknya 10 Km dibawah bukit tersebut. Sesekali dia melihat para pemuda pecinta alam dari arah berlawanan. Tidak jauh beda, kata Satya. Mereka dari kota mendaki bukit melihat pemandangan. Satya dari desa menuruni bukit melihat kota. Satya bergumam sendiri, orang kota datang ke desa foto-foto lalu pulang…orang desa datang ke kota minta-minta lalu pulang.

Dia sempat ditanya para pecinta alam itu tentang arah jalan pintas. Ada percakapan menarik yang ditulis Satya di dalam catatannya, “Dek..pemandangan paling bagus ada di lokasi mana? Saya mau ambil gambar”. Satya menjawab dengan santai “Maaf mas saya ndak tau. Pelajaran melukis saya E”. Setelah agak lama Satya berjalan, dia berbalik badan. Dilihatnya para pecinta alam itu mengambil gambar dari kamera. Berpose dan berfoto penuh kemenangan. Sayup-sayup dia mendengar, “foto nya bagus…sudutnya pas….posemu boleh juga”. Satya menghela nafas, meneruskan perjalanan mimpinya. Dipegangnya catatan, ditulisnya kata uztad :Orang banyak berhasil memujifoto pemandangan itu, tapi tidak banyak yang berhasil memuji pencipta pemandangan itu.

Sekalian lama menuruni jalur setapak yang terjal, sampailah dia ke kampung sebelah. Sungguh berbeda! Satya terpesona! Ratusan hektar sawah lengkap dengan padi yang menguning dan burung yang berterbangan diatasnya. Raut wajah Satya berubah, belom pernah dia melihat ratusan hektar sawah sebelumnya. Dia belom pernah pergi sejauh ini dari desanya, dia belom pernah ke kampung sebelah! Satya berjalan pelan, menikmati pemandangan yang baru dikenalnya. Tangannya sesekali melambai pada bulir-bulir padi yang menguning. Dia berharap saat itu juga menemukan pak Tani lengkap dengan kerbau dan cangkulnya, di sudut sawah dia bayangkan termos minum lengkap dengan rantang makan buatan bu Tani untuk pak Tani yang tercinta. Satya memandang jauh ke depan, dilihatnya banyak orang. “Pak Tani! I’am cooming!”

Satya berjalan semangat di pematang sawah itu, semakin berjalan tegap. Lalu lemas! Kenapa ada orang kota lagi disini? Lagi-lagi lengkap dengan foto dan kameranya! Semakin jelas Satya melihat, sepasang kekasih lengkap dengan pakaian pernikahan ala barat berpose di depan fotografer dan dua asisten yang setia membawakan lampu blitz dibelakangnya. Catatan kembali dituliskan “Undang-undang Pemandangan Umum harus dibuat sesegera mungkin oleh pemerintah. Eksploitasi di desa sudah bukan lagi berupa emas, batubara, kayu hutan, dan hewan langka. Eksploitasi bentuk baru terjadi disini, saat ini juga, yaitu eksploitasi atas pemandangan desa. Sekian terimakasih”

Satya melihat pasangan itu tersenyum melambai kepadanya, Satya pun melambai. Dihampirinya pasangan itu, “nikahan koq disini mba’?”. “Ini buat foto pre-wedding” jawab sang pria kepada Satya. Satya terdiam mengamati mereka sebentar, lagi-lagi kata yang keluar dari mulut photographer sama persis dengan para pemuda pecinta alam tadi. “Fotonya bagus…senyum yang lebar…santai saja, relax”

Satya berjalan kembali, untuk masuk ke bagian terdalam dari kampung itu. Dia masuk, dan memang dia bertemu dengan sekumpulan petani yang sedang memanen padi lengkap dengan penggilingannya. Mereka sangat sibuk dan bekerja dengan cepat. Satya perlahan mendekati mereka, “Punten, arah ke kota di mana ya pak?”.

“Masih jauh mas,butuh waktu seharian dari sini. Mas nya dari mana to?”, Salah satu menjawab tanpa memandang Satya. “Saya dari desa atas mau ke kota”. Satya dan mereka mengobrol lama, sepertinya Satya menarik perhatian mereka, mungkin karena dia pemuda yang unik yang murah senyum.

Jam makan siang pun datang, Satya ditawari mereka makan seadanya di pinggir sawah tersebut. Satya berbincang lama dengan Pak Yusuf, salah satu petani itu. Tentang suburnya tanah disitu, tentang hijaunya pada disitu, banyaknya orang kota yang mengambil gambar disitu, tentang semuanya! Sesekali Satya tertawa bersama Pak Yusuf. Satya mulai jatuh cinta pada kampung ini, kampung dengan pemandangan yang menakjubkan. Sorenya para petani itu pulang, Satya memang berencana bermalam dirumah Pak Yusuf yang letaknya tidak jauh dari sawah itu. Dan Monalisa pasti selalu tersenyum, Satya kaget melihat kondisi rumah Pak Yusuf. Rumah yang hanya terbuat dari anyaman bambu 2x5 m. Bahkan atapnya hanya berupa daun nipah. Satya mulai membandingkan kondisi rumah pak Yusuf dengan rumahnya di desa. “Rumahku kukira adalah rumah terjelek yang ada di desaku, tetapi disini rumah Pak Yusuf bahkan tidak memiliki atap dan tembok”. Satya dan pak Yusuf bersama keluarganya duduk di teras rumah, yang hanya beralaskan tanah dan kain seadanya. Satya penasaran, bagaimana bisa sebuah desa dengan indahnya pemandangan disitu dan berhektar-hektar sawah yang membentang mengelilingi desa itu, menyisakan sebuah foto kemiskinan dari sebuah rumah kecil pak Yusuf.

“Maaf Pak apakah semua rumah disini seperti rumah bapak?”, Satya memulai pembicaraan

“Iya, sebagian besar rumah kami memang seperti ini, rumah tanpa atap dan tembok”, Satya melihat dalam-dalam wajah Pak Yusuf memperhatikan air mata yang turun dari pipinya.

“Dulu dan sekarang sangat berbeda. Dulu kami sekeluarga memiliki sepetak sawah dan sebidang kebun di belakang rumah. Teman-teman juga seperti itu, Kami hidup berkecukupan disini. Kondisi perekonomian mulai memburuk sejak harga beras turun drastis, kami tidak punya pilihan lain selain menjual sawah kami kepada Pak Haji Nur. Dia membeli sawah kami dengan sangat murah waktu itu, tapi kami tidak punya pilihan lain. Dan sekarang kami pun hanya bisa bekerja pada Pak Haji itu. Bekerja pada sawah yang dulunya milik kami tetapi sekarang milik Pak Haji Nur. Dan setiap panen, kami sudah diberi jatah oleh Pak Haji Nur. Kami menjual harta kami untuk bertahan hidup..” Tetesan air mata pak Yusuf semakin deras, wajahnya memerah seolah ingin menyalahkan seseorang yang dia tidak tau orang itu. Pak Yusuf tak mampu lagi memandang mata Satya yang menatapnya, dia menunduk rendah seperti seorang abdi dalem yang menghadap Sultannya. Satya tidak meneruskan pembicaraan, mereka berdua membisu. Sesekali Satya melihat Istri pak Yusuf yang sudah masuk di dalam bersama anaknya memandang mereka dari pintu, tentu ada bekas di pipinya juga seperti Pak Yusuf. Satya berkata pelan, “Apa Pak Yusuf punya mimpi?”(untuk mengubah kehidupannya). Pak Yusuf hanya menghela nafas di sela tetesan air matanya , “saya udah gak punya mimpi Nak. Bagi saya keluarga makan setiap hari sudah cukup, kami bisa hidup untuk besok itu sudah cukup.”

“Pak arah sungai dimana? Saya mau mandi..dari tadi belom mandi badan saya nggak enak”, kata Satya memecah keheningan malam itu. “kenapa larut malam mandi Nak? Ini kira-kira sudah jam 10 malam” Tanya pak Yanto khawatir. Pak Yusuf tau Satya bingung, seperti dirinya. Diraut wajah Satya tampak merona merah, sesekali dilihatnya Satya menyeka air mata. Pak Yusuf tau Satya ingin menenangkan diri, ditunjukkannya arah sungai yang lumayan dekat itu. Sambil berkata pada Satya untuk berhati-hati. Kampung ini memang tidak ada pencuri karena sepertinya memang tidak adayang bisa dicuri di kampung ini. Satya berdiri, dia jalan kemudian berlari. Satya tidak bisa lagi duduk disitu, air matanya terlalu banyak untuk ditahan ditempat itu. Dan dia memutuskan untuk mandi.

Satya berjalan, dilihatnya sepanjang jalan ada tiang listrik. Diambil catatan dari sakunya, “listrik masuk desa? Bahkan pak Yusuf hanya mampu menyalakan satu lentera”. Dia berjalan lagi, hamparan sawah yang luas itu mengingatkan perkataan pak Yusuf tadi. Dia berhenti ditengah, dia teriak sekencang-kencangnya. Lalu Satya berlari ingin segera mandi untuk menyeka air matanya. Satya melangkah hingga sungai itu terlihat jelas. Dia duduk, dan menuliskan apa yang dipikirkannya di catatannya. “Petani itu tidak ada, Orang bercaping dengan cangkul di pundaknya itu hanya mimpi disiang bolong. Apalagi Kerbau dan alat bajaknya, lengkap dengan termos dan rantang seperti yang ada di buku pelajaran, itu nggak ada! Demi Tuhan itu nggak ada! Disini yang ada adalah buruh tani, dengan rumah anyaman bambu dan penerangan lentera. Yang memikirkan untuk makan hari ini, entah besok dia mendapatkan rezeki atau tidak.”

Di sungai itu Satya menangis sendirian, dia teriak keras-keras. Dia membenci apa yang dilihatnya. Dia benci sekolah, Dia benci Ibu Guru, Dia benci buku pejaran yang hanya ada gambar Pak Tani yang tersenyum ditengah sawahnya. Dia membenci siapapun yang diingatnya, entah para pemuda pecinta alam, entah pasangan yang berfoto tadi siang, siapapun! Dia melihat bintang, dia menuliskan dicatatannya dengan huruf besar-besar

Monalisa pasti selalu tersenyum, pelukisnya belum tentu tersenyum. Pemilik Monalisa pun pasti selalu melihat monalisa tersenyum. Meskipun pemilik itu menangis teriak-teriak, patah hati bahkan bunuh diri, Monalisa pasti tersenyum. Pemandangan di kampung ini pun seperti itu, Indah untuk diabadikan. Pemandangan di sini selalu bagus, tetapi tidak sebagus kehidupannya. Tidak sebagus hamparan sawah yang menguning, tidak sebagus langit biru yang cerah dan tidak sebagus matahari yang bersinar malu-malu. Monalisa pasti tersenyum, yang jelas pelukisnya belom tentu tersenyum.

Satya memberanikan diri untuk tinggal lebih lama, mengetahui lebih jauh. Karena dia ingin mengubah kampung itu. Dia tidak peduli dia hanya siswa SMA peringkat 39 dari 40 siswa. Dia ingin memperbaiki kampung ini sebisanya, dia ingin memberi mimpi ke wajah Pak Yusuf. Hingga ketika dia bertanya ke Pak Yusuf, “apa bapak punya mimpi?” dengan bangganya pak Yusuf menjawab “YA!”

-Bersambung-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun