Mohon tunggu...
Candra Aji
Candra Aji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup ini mudah, semudah 2 pilihannya: baik atau lebih baik!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Bayimu (Prolog)

22 Mei 2013   12:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:12 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya aku cukup gila untuk menceritakannya. Tetapi jelas, aku dan masalaluku menghantui ku sekarang. Ya, aku tau tentu kalian akan menganggap aku orang jahat. Tak apalah. Bebas! yang jelas aku tidak berpura-pura memuja cinta kemudian melakukan hal buruk dibelakangnya, aku bukan koruptor yang mencuri banyak uang dan melakukan pembelaan manis dibelakangnya, aku bukan laki-laki pecinta wanita yang membuat anak diluar batasnya dan membunuhnya sambil sesekali berkata “Tuhan maafkan aku...aku berjanji tidak akan mengulanginya..”.

Aku hanyalah dukun anak yang butuh sekedar uang untuk makan, itu saja. Hmm...tunggu, pasti kalian berpikir mencari rezeki itu harus yang baik-baik? Tentu...aku pun telah lama meninggalkan profesi itu sekarang. Tetapi meninggalkan bukan berarti melupakan. Aku masih ingat satu peristiwa yang membuatku memutuskan berhenti. Sebelumnya cerita ini kumulai, aku minta kalian harus berjanji untuk tidak menceritakannya, menginvestigasinya, dan mencaritahu kebenarannya. Kalaupun tidak percaya, terserah ...itu bukan urusanku, lebih baik malah. Urusanku disini hanya menuliskan cerita yang menghantuiku selama ini dan berharap aku tenang.

Pernahkah kalian punya sahabat? Waktu kecil aku tidak punya teman, tetapi punya 4 sahabat. Ani, Windu, Abi, dan Tika. Kebetulan rumah kami 1 kompleks. Tak perlulah aku beritau nama daerahnya, aku malu. Ani dan Tika sering memaksa kami, para pria...untuk bermain rumah-rumahan. Dan kami, para cowok, selalu bersembunyi ketika rumah itu selesai dibangun. Cowok pun, termasuk aku, kadang sok hebat...memanjat pohon tinggi tinggi dan melempar buah mangga ke bawah, Ani dan Tika sudah ada disana...mengambilnya satu persatu. Persahabatan kami berjalan hingga kami remaja. Dan tampaknya, aku mulai menyuka Ani. Dia gadis yang manis. Hingga akhirnya waktu SMA aku dan Ani berpacaran. Haha...waktu itu aku belum tau kalau Windu menyimpan rasa cinta untuk Ani...mungkin aku tau, tapi tak peduli.

Kehancuran keluarga ku memaksaku memilih kehidupan yang berat. Ibu ku selingkuh dan Ayahku nikah lagi. Aku, waktu itu, merasa seperti bola ping-pong, yang hanya menunggu giliran untuk dilempar dan dipantulkan ke arah ayah atau ibuku. Aku seperti dadu, berputar dan dilempar. Jika angka kecil aku ikut Ibu-ku, kemudian jika angkanya besar...aku akan ikut Ayahku. Aku memang merasa seperti properti yang tidak diinginkan waktu itu. Aku merasa hancur dan tidak ada harapan. Ani? Tidak satupun masalahku kuceritakan padanya. Aku tidak menghubunginya selama beberapa waktu. Aku tidak ingin dia sedih dan melihat kondisiku saat ini. Aku cukup tau dia mencintai ku sepenuhnya waktu itu, dan kuharap dia tau aku mencintainya dalam diam. Aku butuh waktu untuk sembuh dari luka ini, kataku dalam hati. Aku memegang handphone, tetapi tak satupun telp-nya yang aku angkat. Tak satupun sms-nya yang aku balas dan tak satupun dari kedatangannya dirumahku aku temui.

“sayang, kamu kenapa?”

“sayang, kumohon temui aku sebentar..”

“sayang, aku salah apa? beritau aku … aku ingin memperbaiki salahku”

Dan dari semua pesan yang kubaca, satu pesan terakhir yang kuingat jelas dan masih kusimpan hingga sekarang, “sayang, kumohon temui aku, aku disuruh mama kuliah di Jogja..aku gak mau..”. Berkali-kali aku ingin menulis pesan...tapi tak satupun kalimat bisa aku tulis untuk menggambarkan keadaanku. Aku biarkan pesan itu hingga hari keberangkatannya ke Jogja. Aku terdiam, penuh sesal. Sampai sekarang, di draft pesanku, masih tersimpan kalimat  “aku sayang kamu juga” yang tidak pernah terkirim untuknya.

Dua tahun berlalu sejak kepergian Ani. Aku berkenalan dengan mas Yus, dia berprofesi sebagai Dukun anak disini. Ya, dukun anak, orang yang membantu proses persalinan seseorang. Aku sering ke tempat prakteknya, membantu alakadarnya, hanya untuk mengisi kegiatan pelepas stressku. Dan darisanalah aku belajar tentang persalinan. Suatu sore, ada pasangan muda dari Jakarta datang ke mas Yus.

“apa benar anda dukun anak?” kata sang pria

“ya...ada perlu apa” tanya mas Yus

“bisa anda menggugurkan kandungan?”

“...!?” aku dan mas Yus terdiam

“...kami hanya membantu proses persalinan mas, bukan membantu menggugurkan kandungan” kata mas yus dengan pelan

“Di daerah kami, Dukun anak itu orang yang menggugurkan kandungan..anda pasti juga bisa..saya bayar mahal” pria itu ngotot...

“...tapi..”  “...dua puluh juta! sekarang atau tidak”  “....!?”

Tiga hari aku tidak bisa tidur, melihat apa yang dilakukan mas Yus terhadap pasangan muda dari Jakarta tersebut. Aku melihat banyak darah, janin dan jeritan. Bolak balik aku ke kamar mandi, muntah. Dan percayalah, membunuh orang itu masih lebih baik. Membunuh janin? Aku takut. Dibawah kolong tempat tidurku masih ada 10juta, masih tersimpan rapi di amplop, yang aku masukkan kedalam tas.

Tepat tanggal 3 September 2010, aku pergi dari rumahku membawa tas yang berisi uang itu dan tanpa pamitan ke siapapun, termasuk ke mas Yus. Aku beli tiket pesawat ke Jogja, entah apa yang ada dipikiranku saat itu. Aku hanya ingin pergi...dan saat itu jujur aku teringat Ani.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun