Mohon tunggu...
Den kiki Sunardi SH
Den kiki Sunardi SH Mohon Tunggu... Pengacara - Ide Penuntun

Bermain gitar akustik, Bernyanyi, Membaca, Sepakbola, Artwork, puisi, legal opinion

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Kilau Palsu

10 Juni 2024   21:31 Diperbarui: 10 Juni 2024   22:43 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Onger colab pinterest

Di sebuah negeri tanpa nama, yang bisa kau kenali dari gemuruh mesin setan parpol bising seperti knalpot pesawat jet tempur, suasana hiruk pikuk terus berlangsung. Partai-partai politik saling hasut, menebar janji layaknya nelayan menebar jala, potas, bom pukat harimau. Semua ini telah dipertontonkan di hadapan rakyat.

Tidak sedikit yang merasa bosan, jenuh dengan ranjau kebodohan yang dibiarkan mengudara, terhirup lewat saluran napas, meledak di tengah-tengah otak, merusak jiwa dan raga. Para 'bajingan kencur' terus bermain di panggung kekuasaan.

Negeri itu darurat pemimpin yang amanah. Berita mainstream mengumbar kisah yang sama berulang-ulang, semakin parah setiap harinya. Alam rusak parah, instansi kepolisian rusak parah, dan hukum tak kalah parah. Rakyat, sebagai subjek hukum, merasa diabaikan, hanya dijadikan objek hukum oleh para aristokrat dan feodal yang berkuasa.

Lagi dan lagi, rakyat dipertontonkan dan diuji sebagai kaum bawah. Mereka bertanya-tanya, apa harus menunggu keadilan di alam barzah? "Stop, please," teriak mereka dalam hati. Mereka memikirkan generasi anak cucu, agar tidak terbelenggu oleh sistem yang licik. Ironisnya, ketika negara krisis, muncul ATURAN-ATURAN yang membuat mati, dan bendera parpol bertebaran sepanjang jalan.

Kelompok parpol dan manusia-manusia serakah yang duduk di kursi emas mencari kesempatan dalam kesempitan. Proses pengadilan kasus besar seperti milik penguasa-penguasa berjalan lambat, memperlihatkan betapa instansi aparat penegak hukum semakin mundur. Para perusak hutan terus merajalela, sementara para elit sibuk memikirkan capres, tanpa peduli pada rakyat yang menderita.

manusia masih banyak yang terbelangsak. "Woi negara, woi DPR, jangan absurd dan kacau seperti tulisan ini," protes seorang rakyat yang tidak peduli dengan kode etik penulisan. "Persetan dengan kode etik."

Intinya, negeri itu tenggelam dalam sampah, banjir bandang, kering, kerontang, gunung meledak, laut muntah. Si miskin jadi penjahat, sementara si kaya menimbun kekayaan. Dan parpol, seperti biasa, bagi-bagi sembako untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Rakyat kecil terus berjuang, berharap ada cahaya keadilan di tengah kegelapan yang menyelimuti negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun