Tingginya tingkat korupsi meletakan Indonesia pada penilaian rendah sebagai negara yang bersih dari korupsi. Penilaian ini diantaranya dilakukan oleh lembaga independen internasional seperti Transparancy International dan Political and Economy Risk Consultancy (PERC). Bahkan jika ini disandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan Vietnam, Indonesia tetap kalah bersih. Jangan tanya jika dibandingkan dengan Singapura yang meraih prestasi sebagai negara paling bersih dari korupsi.
Masalah korupsi lebih dari sekedar persoalan Good Corporate Governance (tata kelola yang baik), lebih dari itu korupsi adalah cermin karakter bangsa. Maka tingkat korupsi selalu berbanding lurus dengan kualitas karakter bangsa.
Jika kita mau jujur dan melihat apa yang terjadi di sekitar kita. Penilaian lembaga survey internasional tersebut di atas boleh dibilang wajar-wajar saja. Perilaku masyarakat kita saat ini lebih banyak mencerminkan perilaku-perilaku yang jauh dari prinsip-prinsip moral universal maupun tradisional kita. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan mudah menemukan contoh buruk seperti perilaku yang jauh dari tertib, tidak tepat waktu, tindak kekerasan hingga munculnya kasus-kasus asusila baik yang dilakukan oleh generasi muda hingga figur publik mulai dari artis, politisi, maupun pejabat. Kualitas karakter yang memprihatinkan tersebut pada akhirnya memicu munculnya ide perlunya pendidikan karakter secara khusus dalam Sistem Pendidikan Nasional. Harus diakui bahwa Pendidikan Karakter memiliki tantangan yang lebih rumit dan sulit. Hal ini karena berhasil dan tidaknya pendidikan karakter hanya dapat dilihat dari perkembangan kualitas karakter suatu masyarakat pada beberapa puluh tahun yang akan datang. Maka kegagalannya akan mengakibatkan sia-sianya waktu beberapa puluh tahun yang terlewati sekaligus harus mengulang lagi dari awal untuk beberapa puluh tahun ke depan.
Secara substansi, kesadaran pendidikan karakter bukanlah hal baru di Indonesia. Hanya istilahnya saja yang berbeda-beda. Di era Orde Baru, kita mengenal Penataran P4 (bahkan dengan sertifikat) untuk berbagai tingkatan, Pendidikan Moral Pancasila, hingga pendidikan agama. Konsep ketiganya bertujuan akhir untuk membentuk karakter bangsa Indonesia agar berkualitas baik. Namun sayang, konsep ini lebih menitikberatkan pada kemampuan kognitif untuk menguasai nilai-nilai moral. Akibatnya, materi yang didapat hanya berhenti sebatas pemahaman bukan kesadaran. Di sinilah pendidikan karakter telah diberlakukan sebagai studi tentang karakter.
Dari sini kita seharusnya merubah orientasi Pendidikan Karakter yang berbasis Studi tentang Karakter menjadi berbasis Pengembangan Karakter (character building). Pendidikan Karakter berbasis Pengembangan Karakter tidak saja mengajarkan nilai-nilai moral sebagai ilmu pengetahuan yang dihafal untuk kepentingan ujian tertulis namun lebih dari itu juga sebagai pembentukan kepribadian sehingga ukuran terpenting keberhasilan pendidikan karakter adalah adanya perubahan mendasar karakter masyarakat ke arah yang lebih baik.
Maka menarik menilik pendapat Nursalam Sirajuddin ( http://metronews.fajar.co.id/ ), seorang praktisi pendidikan, bahwa keberhasilan pendidikan karakter dapat dicapai melalui 3 desain.
Yang pertama adalah desain berbasis kelas di mana hubungan antara guru dan siswa harus merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip yang diajarkan di kelas. Sebaik apapun prinsip yang diajarkan di kelas jika guru gagal memberi contoh melalui perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan siswa maka besar juga potensi kegagalan pendidikan karakter pada siswa-siswanya.
Kedua adalah desain berbasis kultur sekolah yaitu penting dilakukannya penguatan nilai-nilai kepribadian oleh seluruh komponen sekolah sehingga melebur dan menjadi kebiasaan dalam keseharian. Kebiasaan yang tertanam secara mendalam tentu akan membentuk karakter secara kuat sehingga tidak mudah luntur oleh situasi apapun.
Ketiga adalah desain berbasis komunitas. Secara ruang lingkup, desain ini lebih rumit karena tidak saja menjadi tanggungjawab sekolah namun telah menjadi tanggungjawab keseluruhan komponen kemasyarakatan sehingga diperlukan sinergisitas antara komponen masyarakat seperti sekolah, keluarga, tempat tinggal, pergaulan, pemerintah, dan lain-lain. Di sini keberhasilan pendidikan karakter sangat bergantung dengan komitmen dari masing-masing komponen. Jika salah satu saja melenceng dari komitmen menegakan nilai-nilai yang mendukung pendidikan karakter maka akan sia-sialah pendidikan karakter yang giat diupayakan sekolah.
Ide memunculkan pendidikan karakter oleh pemerintah sebagai bagian pembelajaran siswa sebenarnya bagus-bagus saja. Namun juga jangan diabaikan bahwa dalam mata pelajaran tertentu telah memuat nilai-nilai pendidikan karakter seperti pelajaran agama, Moral Pancasila, seni budaya, olah raga, dan sebagainya. Keadaan ini harus dikritisi mengingat potensi tumpang tindih yang ujung-ujungnya hanya membebani siswa dan membingungkan praktisi pendidikan (guru).
Jika pendidikan karakter dihadirkan sebagai mata pelajaran khusus, selain potensi overlapping (tumpang tindih) yang cukup besar, juga harus diperhatikan berkaitan dengan beban akademik yang berlebih. Hal ini penting menjadi catatan tebal mengingat kurikulum nasional dikenal sebagai kurikulum yang memberikan beban berat pembelajaran bagi siswa di Indonesia. Jika ini diabaikan, lupakan saja tujuan ideal pendidikan karakter untuk pengembangan kepribadian anak-anak kita. Lupakan juga Indonesia bersih dari korupsi!! (Oleh Zazuli Miftachul Hanief, S.H., M.Hum., Guru/Praktisi dan Pemerhati Pendidikan di SD Hikmah Teladan - Cimahi)**