Malam ini,
diantara kecamuk badai dan dahan-dahan pohon yang patah
diantara nyala petir dan gemuruh yang bersahut-sahut
kupanggil semua rasa marah yang selama ini diendap dalam-dalam
yang kusembunyi dalam sekotak ruang paling tertutup dan terisolasi di belantara tawa dan bahagia
disembunyi agar tak ketahuan
rasa marah meraung-raung, menyuarakan semua yang tertahan.
Malam ini,
bala amarah datang membawa senjatanya masing-masing.
Kata-kata paling tajam, pengungkitan masa lalu yang belum usai, perasaan yang disumpal, air mata yang menggumpal, gemetar yang dipaksa redam, hingga kalimat-kalimat yang sesungguhnya tak mau diucap.
Bala amarah datang membawa senjata yang dirasa paling menyakitkan.
serapah paling kasar, tangisan paling pilu, mata merah yang menyala, dan bahasa tubuh yang mengisyaratkan menjauh.
Selesai menyerang, komandan bala amarah memberi aba-aba beristirahat untuk menarik napas.
Sungguh semua musnah, semua yang mulanya bahagia, tidak ada lagi sisanya.
Bala amarah terduduk menyesal.
Serangan sebentar rupanya dapat menyingkirkan tahun-tahun yang dibangun penuh sukacita.
Kemudian tangis sejadi-jadinya pun menjadi akhir cerita dari bala amarah.
Bogor, pukul 17.00, 13 November 2022
Tentang bala amarah yang menyerang tahun-tahun yang dibangun penuh bahagia dengan senjata paling tajam, lalu menangis sejadi-jadinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H