Perkembangan berbagai macam teknologi yang semakin maju tidak berbanding lurus dengan karakter umat manusia yang tidak mendapat tempaan untuk memiliki karakter yang jauh lebih baik.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat ternyata tidak seiring dengan berkembangnya karakter dalam diri manusia untuk menjadi lebih baik dari masa ke masa.Â
Hal ini terbukti dari banyaknya pencurian karya yang bahkan karya tersebut telah dipublikasikan, sudah terkenal di pasaran publik, sudah tak diragukan lagu kualitasnya.Â
Tentu saja ini adalah hal yang kontras dan tak berbanding lurus dengan kemajuan teknologi yang semakin baik dan membantu umat manusia dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Tentu saja ini harus menjadi perhatian publik.Â
Tapi, publik mana yang dimaksud bila sebagian besar turun tangan dalam memajukan pasar pencurian karya?
Pencurian karya yang dimaksud adalah seperti penjiplakan dan plagiarisasi yang kerap terjadi di salah satu wahana literasi. Mengapa saya sebut wahana? Karena jika perpustakaan, toko buku, dan segala hal yang memiliki akses ke arah ilmu pengetahuan adalah bentuk dari sebuah sarana, maka buku adalah salah satu wahananya.
Indonesia yang memiiki tingkat membaca yang rendah, menerbitkan sangat sedikit judul buku dalam setahun dibanding negara maju, industri literasinya memiliki satu sisi kelam, yaitu Pembajakan.
Ada banyak buku-buku bajakan yang beredar luas di masyarakat kita, dan konsumen buku bajakan ini tidak sadar bahwa ia telah menjadi bagian dari bentuk pencurian besar di abad yang sedang pesat berkembang.Â
Kalau pun sadar, mereka tidak punya rasa peduli, tidak memahami, bahwa karya adalah bentuk ide yang harus dilindungi.Â
Hal ini bahkan di atur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta, yang dimana pasal-pasalnya berbunyi tentang macam pelanggaran seperti apa yang termasuk dalam pelanggaran hak cipta, hingga konsekuensi yang harus dihadapi secara hukum jika ketahuan dan terbukti melakukan pelanggaran hak cipta.