Diskriminasi adalah suatu kata yang akan menimbulkan kesan negatif di benak kita semua. Kesannya seperti mengelompokkan manusia, padahal semua insan adalah pada hakikatnya sama. Biasanya, diskriminasi muncul dari suatu stereotipe yang dianggap umum di masyarakat, padahal tak selamanya generalisasi dapat diterima secara luas. Bahkan dalam aspek kebahasaan. Tak jarang, diskriminasi sering berakar dari misinterpretasi pronomina, dalam hal ini kata ganti orang dalam percakapan.
Saya beri contoh yang mudah. Guru saya yang pernah mengajar di suatu sekolah di suatu daerah sempat “menangkap basah” dua siswanya yang bercakap-cakap menggunakan pronomina “lu” dan “gue” yang dianggap kasar di daerah tersebut. Dua siswa tersebut memang berasal dari Jakarta dan seperti yang kita ketahui pronomina tersebut bisa dibilang adalah bahasa daerah ibukota dan memang digunakan secara luas oleh sesama pelajar seusia. Keduanya kemudian diberi sedikit nasihat agar menggunakan bahasa yang lebih halus menurut persepsi masyarakat setempat. Tetapi, saat guru saya tersebut bertugas di Jakarta, hampir semua orang menggunakan pronomina seperti itu dan dianggap wajar dan ini sempat mengejutkan beliau.
Saya sendiri berasal dari daerah dimana saya terbiasa menggunakan bahasa lokal dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam kelas dan acara resmi hingga saatnya saya meneruskan pendidikan di Jakarta. Saat pertama kali saya berada di kampus, sungguh saya tidak tahu mau berbicara apa. Awalnya, saya menggunakan pronomina “aku” dan “kamu” namun penggunaannya kurang tepat. Ternyata, meskipun di daerah saya pronomina tersebut bisa digunakan dengan dan oleh siapa saja, ternyata hukum yang sama tidak berlaku di Jakarta. Banyak orang sempat memberi cap kepada saya sebagai orang yang sok kenal, padahal saya sendiri tidak bermaksud demikian. Jelaslah bagi Anda semua bagaimana diskriminasi akibat misinterpretasi pernah menimpa saya.
Bahasa Indonesia resmi sempat menyelamatkan saya dari diskriminasi orang-orang yang salah interpretasi tersebut. Adalah teman yang tinggal sekamar dengan saya yang menggunakan “saya” dan “Anda” sebagai pronomina yang membuat saya mengubah cara berbicara saya secara temporer sampai saya mampu beradaptasi dengan kebiasaan bicara setempat. Sampai sekarang pun, jarang sekali ada orang yang memberi cap negatif kepada teman saya yang satu ini.
Ketepatan penggunaan pronomina mempengaruhi keadaan mental lawan bicara. Ketidaknyamanan penggunaan pronomina akibat perbedaan persepsi mengenai kata yang sama sering kali menjadi kerikil penghambat komunikasi. Padahal, bahasa yang digunakan sudah sama. Jika pronomina yang dianggap kasar digunakan, secara bawah sadar kita akan merasakan adanya intimidasi dari lawan bicara. Apabila hati sudah tersinggung lebih dahulu, walaupun informasi yang disampaikan amatlah penting, ada kecenderungan untuk mengabaikan informasi yang masuk. Ujung-ujungnya, kita malah menilai sang pembicara dan merendahkan nilai apresiasi yang diberikan. Dari sinilah dimulai semua diskriminasi yang sulit untuk diputihkan bila telah tertanam dalam pikiran. Padahal, pemicunya simpel: misinterpretasi.
Ada baiknya disini saya paparkan secara singkat bagaimana efek yang teramati pada pendengar bila kita menggunakan beberapa pronomina berbeda dalam bahasa Indonesia resmi. Saya bukanlah ahli linguistik, jadi jika terdapat kesalahan, bagi Anda yang merupakan ahli di bidang ini, saya mohon tegurannya. Saya mencoba mengobservasi sekitar dan meminta penilaian subjektif dari banyak orang dan berikut adalah kesimpulan saya.
-Penggunaan “saya” dan “Anda/Bapak/Ibu” menunjukkan bahwa sesama pembicara dan pendengar saling menghormati, tegas, kesan mengintimidasi atau bersahabat tergantung dari nada pembicaraan. Ini dapat kita amati dari tulisan pendek ini maupun iklan produk kesehatan di televisi.
- Penggunaan “aku” dan “kamu” memberikan kesan kedekatan antara orang yang bercakap-cakap. Sangat jelas terlihat pada percakapan orang terkasih dengan Anda.
-Penggunaan nama sendiri sebagai kata ganti pronomina adalah bentuk proksimitas dalam percakapan. Walau bukan pronomina resmi, saya menjumpai banyak orang yang menggunakan bentuk pronomina seperti ini. Lebih umum di kalangan perempuan. Penggunaan pronomina seperti ini memberikan kesan jujur serta kelembutan hati.
Dari kesimpulan yang telah saya paparkan, dapat kita lihat bahwa penggunaan pronomina merupakan suatu hal yang cukup tergantung pada penilaian pribadi, meskipun ada beberapa penilaian yang bersifat universal, seperti jika ada ledakan dalam penyebutan pronomina, berarti ada aspek yang ditekankan dari orang terganti pronomina. Bentuk komunikasi paling simpel hampir selalu melibatkan pronomina. Penggunaan pronomina yang tepat dapat melancarkan pembicaraan satu bahasa antara dua manusia. Penggunaan pronomina resmi yang baik serta kondisi yang tepat mampu menghindarkan perpecahan akibat pola pikir yang diatur oleh kesan yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H