Ini tentang aku, yang dua puluh tahun kemudian baru tahu bahwa guruku ternyata "DN Aidit".
Awalnya
Tahun 1984, saat masih duduk di SMP, seluruh siswa diwajibkan menonton film Penghianatan G.30.S/PKI. Tak ada pemahaman apa pun saat itu, selain keseruan nonton bersama di bioskop. Kalau pun ada rasa penasaran hanyalah keinginan untuk menyesuaikan adegan beberapa scene seperti yang tertulis di buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Apakah adegan ketika pasukan Cakrabirawa mendatangi Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah jenderal lainnya, sama seperti di PSPB?
Karena masih kecil, kami tidak memahami substansi. Yang jadi pembahasan setelahnya adalah ketidaksesuaian dialog yang dibaca di buku PSPB dengan yang disaksikan di bioskop.
"Darah itu merah, jenderal. Semerah amarah ..." ujar sahabatku. Namun yang lain menyela,"Bukan begitu. Tapi begini, darah itu merah, jenderal. Seperti amarah!"
Tengahnya
Beranjak dewasa, aku memilih profesi sebagai jurnalis dengan mengesampingkan profesi lainnya,seperti guru, dan membuang kesempatan menjadi PNS. Tak nyaman rasanya jika harus menjadi PNS, sebab aku dibesarkan dalam lingkaran keluarga PNS. Aku ke luar dari cita-cita mainstream mereka.
Tahun 2000, pascatumbangnya Orba, kantor majalah tempatku bekerja, menyelenggarakan kuliah singkat selama satu bulan tentang jurnalistik bekerjasama dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta. Kesempatan untuk mengembangkan karir jurnalistik semakin terbuka lebar.
Beberapa rekan wartawan nampak terkejut saat mengetahui siapa mentor kami dalam pelatihan jurnalistik tersebut. Aku biasa-biasa saja, karena memang tidak pernah mengetahui mereka. Menurut sahabatku itu, para mentor merupakan orang-orang besar dan profesional di bidangnya. Ada Pimred ANTV, Redaktur Tempo, Panjimas, dan sejumlah media besar lainnya. Selain Bapak Atmakusumah yang menjadi Ketua Dewan Pers saat itu, tak ada nama-nama lain yang kukenal.
Beda dengan sahabatku, ia nampak terkejut ketika mengetahui ada nama Syu'bah Asa dalam jajaran mentor pelatihan jurnalistik, "Wih, ada Pak Syu'bah Asa!" teriaknya. Siapa dia? "Pimpinanku sewaktu masih di Panjimas!" jawabnya.
Akhirnya