Oleh Zayn Al Muttaqien
Usianya belum genap tiga tahun. Kata-kata yang meluncur renyah dari bibirnya pun tak bisa diterjemahkan spontan; perlu penalaran. Namun di balik itu, keinginannya melebihi para dewasa. Bila akan menggambar, misalnya, haruslah disediakan kertas terbagus dan crayon terbaik.
Itulah karakter unik Ressi, bocah laki-laki yang masih sering menangis dan 'mendemo' ibunya acapkali keinginannya tak terpenuhi.
"Uto ... uto ..." ucapnya seraya hilir mudik menciptakan kepanikan.
Seakan terbiasa, sang ibu langsung menyiapkan kertas dan crayon terbaik tersebut. Ya, Ressi ingin menggambar Naruto, tokoh kartun idolanya.
Tak boleh ada yang mengganggu. Ressi pun bersila dengan konsentrasi penuh. Beberapa jenak kemudian 'Naruto' ciptaan Ressi pun selesai. Melihat hasilnya, sang ibu tersenyum geli.
Dalam pandangan dewasa, Ressi bukanlah menggambar Naruto. Dia hanya menggariskan crayon secara tak beraturan. Hasilnya pun gampang ditebak; gambar abstrak yang tidak bermakna.
Pendidikan Abstrak
Cerita Ressi hanyalah ilustrasi. Yang ingin saya tuliskan sesungguhnya tentang pendidikan.
Ternyata 'kurikulum' yang jelas (gambar Naruto), 'sarana dan prasarana' yang memadai (crayon dan kertas terbaik milik Ressi), atau 'proses belajar mengajar' yang kondusif (Ressi tak mau diganggu jika sedang menggambar), bukanlah jaminan untuk menghasilkan output yang bermutu. Ressi masih perlu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memiliki keterampilan dan kompetensi.
Ressi hanyalah subyek. Di dalam dunia pendidikan, subyek adalah guru yang memiliki tanggungjawab penuh dalam menghasilkan output yang mutual.