Mohon tunggu...
Zein
Zein Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA AL HIKMAH INSTITUTE MAKASSAR

Mungkinkah Pikiran memahami dirinya? #Logika ibarat cermin sempurna yang menampilkan secara terang watak dasar pikiran. Di sanalah, di hadapan cermin itu, pikiran menjadi mungkin memahami dirinya#

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Epistemologi dan Problem Praepistemik

2 Januari 2024   02:04 Diperbarui: 7 Januari 2024   00:20 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tema ini secara tegas menggarisbawahi bahwa isu utama yang diangkat dalam tulisan ini adalah masalah pengetahuan. Biasanya, problem filosofis yang menjadi perdebatan di wilayah pengetahuan ialah menentukan nilai kebenaran berikut standar epistemiknya. Dari sinilah ketidakbenaran pengetahuan manusia berikut standar epistemiknya pun dapat diderivasi.

Uraian singkat di atas sesungguhnya, hemat penulis, menggambarkan secara tepat logika (baca: struktur logis) dari kerumitan perdebatan-perdebatan dan pertentangan-pertentangan berbagai mazhab epistemologi mengenai relasi epistemik antara pengetahuan manusia dengan realitas eksternal. Namun, tanpa mesti memberikan dasar rasionalitasnya, penulis akan segera menunjukkan fakta bahwa perdebatan-perdebatan epistemologis mengenai pengetahuan manusia di atas relatif tidak lagi memperhatikan inti dan esensi problem epistemologi.

Sederhananya, jika semua perdebatan epistemologi pada wilayah pengetahuan manusia itu sama-sama mengandaikan probabilitas pengetahuan, pada saat bersamaan mengandaikan adanya nilai pasti-benar pengetahuan manusia, maka—hemat penulis—semua wacana epistemologi yang berkembang harus benar-benar diposisikan sebagai telah gagal. Pasalnya, perdebatan-perdebatan epistemologi mengenai pengetahuan manusia sudah tidak lagi berpijak pada inti dan esensi problem epistemologi yang karenanya probabilitas dan nilai pasti-benar pengetahuan manusia itu menjadi mungkin diandaikan.

Inti dan esensi problem epistemologi itu tidak dapat diposisikan secara simetris dengan problem-problem epistemologis lainnya, sebab yang disebut terakhir ini kalau bukan problem yang diderivasi dari yang pertama, maka pasti bersumber dari kegagalan memahami dan menjawab problem inti epistemologi. Dan karena tidak dapat diposisikan secara simetris, maka problem inti epistemologi itu harus, sekali lagi, harus diposisikan sebagai problem "praepistemik".

Lantas problem epistemologi apa yang bersifat praepistemik. Mungkinkah terjadi perbedaan dalam menentukan problem praepistemik. Atau atas dasar apa dan dengan maksud apa disebut sebagai problem praepistemik.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita harus "berpikir mundur" untuk menemukan landasan bersama yang mendasari seluruh pengandaian dan pertimbangan-pertimbangan epistemologi mengenai pengetahuan manusia. Dalam proses berpikir mundur ini segera akan ditemukan bahwa semua pengandaian dan pertimbangan epistemologis mengenai pengetahuan manusia hanya dimungkinkan jika, dan hanya jika, "manusia sebagai subjek pengetahuan itu ada dan mungkin mengetahui". Tanpa manusia, maka tidak mungkin ada pengetahuan. Bahkan pada batas ini, pandangan sophis bahwa: "manusia adalah ukuran segala sesuatu", dari sudut pandang tertentu dapat dibenarkan.

Akan tetapi harus segera dikatakan bahwa kaum sophis pun gagal melihat problem ini secara tepat, sehingga dengan menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu maka segala yang berada di luar diri manusia itu dianggap tidak real dan kebenaran hannyalah subjektivitas, sehingga bersifat relatif (tidak mutlak dan universal).

Apa yang tidak disadari oleh banyak pakar epistemologi, dan khususnya kaum sophis ialah kenyataan bahwa posisi manusia sebagai subjek pengetahuan merupakan inti dari seluruh masalah epistemologi. Karena problem praepistemik itu sendiri lahir dari "cara manusia mengetahui".

Dalam tradisi pemikiran filosofis Islam, "cara manusia mengetahui" tidak keluar dari dua mode, yaitu secara kehadiran dan secara kehasilan. Yang pertama disebut mengetahui dengan modus al-'ilm al-hudhuri, sedangkan yang kedua disebut mengetahui dengan modus al-'ilm al-hushuli. Lalu dimana letak problem praepistemiknya. Letak problem praepistemik ialah pada cara manusia mengetahui itu sendiri yang kemudian terefleksi dalam proposisi-proposisi seperti: "aku mengetahui sesuatu", dll.

Ha'iri Yazdi menegaskan bahwa: pernyataan "aku mengetahui sesuatu" mempraanggapkan bahwa "aku" sudah—dengan cara tertentu—pasti telah mengenal dirinya sendiri. Pertanyaannya sederhana, kapan kita mengenal diri kita, sehingga kita berani mengatakan "aku mengetahui A", "aku mengetahui X", "aku mengetahui Y" dll. yang secara implisit menegaskan bahwa "aku" sudah diketahui. Selanjutnya, apakah pengetahuan kita tentang "aku" (diri kita sendiri) itu benar.

Pada titik ini jelaslah bahwa "aku" sebagai subjek pengetahuan adalah inti problem epistemologi yang bersifat praepistemik. Pernyataan "mengetahui sesuatu" tidak akan bermakna bila tanpa "aku", karena mengetahui sendiri mengandaikan adanya subjek "aku" sebagai yang mengetahui. Inilah problemnya. Yakni, bagaimana kita menentukan sifat pengetahuan ini. Yakni, bagaimana "aku" mengenal dirinya sendiri. Sebab, tanpa mengetahui problem praepistemik ini, maka semua pengandaian dan pertimbangan-pertimbangan epistemologi mengenai pengetahuan manusia menjadi absurd dan meaningless. Karena pengandaian dan pertimbangan-pertimbangan epistemologi mengenai pengetahuan manusia itu tidak mungkin tanpa mengafirmasi "aku".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun