Pada tiga pembahasan sebelumnya telah dipaparkan secara gamblang pentingnya logika, relasi logika dan berpikir. Dan pada pembahasan sebelumnya juga telah menyentuh beberapa aspek yang—dalam hemat penulis—sangat substansial berkenaan dengan hakikat berpikir perspektif logika dan mengapa subjek logika itu adalah definisi dan argumentasi.
Pada pembahasan kedua tentang "hakikat berpikir perspektif logika", penulis telah memberikan dasar rasionalitas mengapa berpikir itu menjadi mungkin. Dan jawaban bahwa berpikir itu menjadi mungkin karena adanya akal dan pengetahuan itu termasuk dari sudut pandang ontologis. Yakni, karena adanya akal dan adanya pengetahuan itulah tindak berpikir menjadi mungkin.
Di dalam tulisan ini penulis akan mengeksplorasi lebih jauh hakikat berpikir dari sudut pandang epistemologisnya. Maksudnya, bila telah ditegaskan bahwa secara ontologis berpikir itu menjadi mungkin karena adanya akal dan adanya pengetahuan, lantas bagaimana proses epistemik berpikir itu sendiri?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas tidak keluar dari status ontologis yang memungkinkan terjadinya tindak berpikir. Sebab, proses epistemik berpikir itu sendiri di abstraksi dari kedua elemen fundamental berpikir tersebut, yaitu akal dan pengetahuan.
Perhatikan!, bila berpikir itu hanya akan terjadi karena adanya akal dan adanya pengetahuan, maka bukankah sangat mungkin bagi kita untuk memahami hakikat berpikir dari sudut pandang epistemologisnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memulainya dari fakta-fakta yang telah aksioma bagi kita bersama. Kita semua sepakat bahwa tulisan ini (yang sedang Anda baca) adalah aktualisasi dari proses berpikir penulis. Artinya, penulis memiliki akal juga pengetahuan. Sekarang, bila perhatian kita—dalam melihat tulisan ini—difokuskan pada elemen-elemen yang mendasari terbentuknya tulisan ini sendiri, maka kita akan tiba pada fakta bahwa tulisan ini, sebagai bentuk aktualisasi dari proses berpikir penulis itu hanya berpijak pada dua aspek fundamental, yaitu: aspek formal dan aspek material.
Aspek material tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri, sedangkan aspek formal ialah kerangka logis yang padanya di susun pengetahuan-pengetahuan. Tentunya, kita akan segera memahami bahwa "pengetahuan" termasuk salah satu elemen ontologis yang memungkinkan terjadinya tindak berpikir. Namun, di mana "akal" sebagai elemen ontologis keduanya?
Nah, sampai pada titik ini perlu kita ketahui bersama bahwa kerangka logis di atas tidak lain adalah "hukum-hukum gerak akal" itu sendiri yang telah inheren bersama adanya akal. Olehnya itu, bila sekarang kita menjawab pertanyaan di atas, yakni bagaimana proses epistemik berpikir itu, maka jawabannya ialah: "proses epistemik berpikir manusia terjadi dalam dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek formal (hukum-hukum gerak akal yang telah inheren dan apriori) dan aspek material (pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki, dari mana pun kita memperolehnya).
Di atas penulis tegaskan bahwa proses epistemik berpikir itu tidak lepas dari landasan ontologisnya, yaitu akal dan pengetahuan. Lantas di mana relasinya?
Relasinya sangat sederhana. Pertama, aspek formal itu diabstraksi dari hukum-hukum gerak akal itu sendiri. Kedua, aspek material diabstraksi dari pengetahuan itu sendiri. Olehnya itu, bila berpikir manusia itu hanya menjadi mungkin karena ada akal dan ada pengetahuan sebagai landasan ontologisnya, maka hakikat berpikir manusia dari sudut pandang epistemologisnya pun tidak lepas dari keduanya. Yakni, proses berpikir manusia itu melibat dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek formal (yang diabstraksi dari akal) dan aspek material (yang diabstraksi dari pengetahuan).
Sampai di sini penulis memiliki tesis bahwa dasar pembagian logika kepada Logika Formal dan Logika Material sesungguhnya bersumber dari analisis seperti ini. Dan, kebenaran akan tesis ini dapat diuji dengan membandingkan Logika Formal dan Logika Material itu sendiri, baik dari segi definisinya maupun pembahasan-pembahasan yang ada di dalam keduanya.